Jumat, 05 Agustus 2011

TEOLOGI, ONTOLOGI, DAN EPISTOMOLOGI DALAM FILSAFAT


TEOLOGI , ONTOLOGI, DAN EPISTIMOLOGI
DALAM KAJIAN FILSAFAT

A.  Teologi
Filsafat dan ilmu yang dikenal didunia barat dewasa ini berasal dari zaman Yunani kuno. Pada zaman itu filsafat dan ilmu jalin menjalin menjadi satu dan orang tidak memisahkannya sebagai dua hal yang berlainan. Keduanya termasuk ke dalam pengertian episteme. Kata philisophia merupakan suatu padanan kata dari episteme.
Menurut konsepsi filsuf besar Yunani kuno Aristoteles, episteme adalah “suatu kumpulan yang teratur dari pengetahuan rasional dengan objeknya sendiri yang tepat.” Jadi, filsafat dan ilmu tergolong sebagai pengetahuan rasional, yakni pengetahuan yang diperoleh dari pemikiran atau rasio manusia. Dalam pemikiran Aristoteles selanjutnya, episteme atau pengetahuan rasional itu dapat dibagi menjadi tiga bagian yang disebutnya:
1.  Praktike (pengetahuan praktis)
2.  Poietike (pengetahuan produktif)
3.  Theoreitike (pengetahuan teoritis)
Manusia dengan latar belakang, kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan-kepentingan yang berbeda mesti akan berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti, dari manakah saya berasal? Bagaimana terjadinya proses penciptaan alam? Apa hakikat manusia? Tolok ukur kebaikan dan keburukan bagi manusia? Apa faktor kesempurnaan jiwa manusia? Mana pemerintahan yang benar dan adil? Mengapa keadilan itu ialah baik? Pada derajat berapa air mendidih? Apakah bumi mengelilingi matahari atau sebaliknya? Dan pertanyaan-pertanyaan yang lain. Tuntutan fitrah manusia dan rasa ingin tahunya yang mendalam niscaya mencari jawaban dan solusi atas permasalahan-permasalahan tersebut dan hal-hal yang akan dihadapinya.
Teologi adalah merupakan ilmu yang mengkaji tentang Ketuhanan. Yang mana orang yang mengkaji ilmu tersebut disebut sebagai teolog. Hal ini dapat dinilai dengan suati kajian ilmu yang lai yaitu aksiologi. Secara etimologis, aksiologi berasal dari perkataan “axios” (yunani) yang berarti ” nilai” dan ”logos” yang berarti ”teori”. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai. Ilmu sebagai dimensi masyarakat menunjukan adanya kelompok eilt yang dalam kehidupannya sangat mendambakan inpertives, yakni universalisme, komunalisme desinterestedness, dan skeptisme yang teratur. Teori tentang nilai dapat dibagi menjadi dua yaitu nilai etika dan nilai estetika.

B. Ontologi
Ontology merupakan salah satu dari obyek garapan filsafat ilmu yang menetapkan batas lingkup dan teori tentang hakikat realitas yang ada (Being), baik berupa wujud fisik (al-Thobi’ah) maupun metafisik (ma ba’da al-Thobi’ah) selain itu Ontology merupakan hakikat ilmu itu sendiri dan apa hakikat kebenaran serta kenyataan yang inheren dengan penetahuan ilmiah tidak terlepas dari persepektif filsafat tentang apa dan bagaimana yang ada.
Dalam pemahaman ontology dapat dikemukakan pandangan pokok sebagai berikut:
1.  Aliran Pluralisme, aliran ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan dan menyatakan ala mini tersusun dari banyak unsure serta lebih dari satu itentisa. Tokoh aliran ini adalah Anaxsagoras, Danempedcles yang menyebutkan bahwa subtansi yang ada itu tebentuk dari empat unsure yaitu: Tanah, Air, Api dan Udara.
2.  .Aliran Nihilisme merupakan sebuah doktrin yang tidak mengakui Validitas alternative yang positif. Gorgias berpandangan bahwa ada tiga proposisi tentang realitas. Tidak ada satupun yang eksis beranggapan bahwa kontradiksi tidak dapat diterima, maka pemikiran tidak menyatakan apa-apa tentang realitas. Bila suatu itu ada, ia tidak dapat diketahui, ini disebabkan penginderaan tidak dapat dipercaya, pengideraan adalah sunber ilusi. Akal juga tidak mampu meyakinkan kita tentang bahan alam semesta karena kita telah didukung olh delima subyektif, kita berfikir sesuai dengan kemauan dan ide yang kita terapkan pada fenomena. Sekalipun realitas itu dapat kita ketahui, ia tidak akan dapat memberikan kepada orang lain.
3.  Aliran Agnotisme, aliran ini merupakan sebuah penyangkalan terhadap kemampuan Manusia mengetahui hakikat benda, baik materi meupun ruhani, hal ini mirip dengan skeptisme yang berpendapat bahwa manusia diragukan dalam mengerahui hakiakt. Tetapi Agnotisme lebih dari itu.
Kattsoff banyak memberikan term dasar mengenai bidang ontologi, misalnya; yang ada, kenyataan, eksitensi, perubahan, tunggal, dan jamak. Secara ontology ilmu membatasi lingkup pengalaman keilmuannya yang hanya pada daerah-daerah yang barbed dalam jangkauan pengalaman manusia. Objek pengalaman yang berada dalam batas pra-pengalaman dan pasca-pengalaman.
Penetapan lingkup batas penelaahan keilmuan yang bersifat empiris ini adalah merupakan konsistensi pada batas epistemology keilmuan. Ontology keilmuan juga merupakan penafsiran tentang hakikat realitas dari objek ontology keilmuan.

C. Epistimologi
Definisi epistemologi adalah suatu cabang dari filsafat yang mengkaji dan membahas tentang batasan, dasar dan pondasi, alat, tolok ukur, keabsahan, validitas, dan kebenaran ilmu, makrifat, dan pengetahuan manusia
Pokok Bahasan Epistemologi
Dengan memperhatikan definisi epistemologi, bisa dikatakan bahwa tema dan pokok pengkajian epistemologi ialah ilmu, makrifat dan pengetahuan. Dalam hal ini, dua poin penting akan dijelaskan:
1.  Cakupan pokok bahasan, yakni apakah subyek epistemologi adalah ilmu secara umum atau ilmu dalam pengertian khusus seperti ilmu hushûlî[4]. Ilmu itu sendiri memiliki istilah yang berbeda dan setiap istilah menunjukkan batasan dari ilmu itu. Istilah-istilah ilmu tersebut adalah sebagai berikut:
a.  Makna leksikal ilmu adalah sama dengan pengideraan secara umum dan mencakup segala hal yang hakiki, sains, teknologi, keterampilan, kemahiran, dan juga meliputi ilmu-ilmu seperti hudhûrî, hushûlî, ilmu Tuhan, ilmu para malaikat, dan ilmu manusia.
b.  Ilmu adalah kehadiran (hudhûrî) dan segala bentuk penyingkapan. Istilah ini digunakan dalam filsafat Islam. Makna ini mencakup ilmu hushûlî dan ilmu hudhûrî.
c.   Ilmu yang hanya dimaknakan sebagai ilmu hushûlî dimana berhubungan dengan ilmu logika (mantik).
d.  Ilmu adalah pembenaran (at-tashdiq) dan hukum yang meliputi kebenaran yang diyakini dan belum diyakini.
e.  Ilmu adalah pembenaran yang diyakini.
f.    Ilmu ialah kebenaran dan keyakinan yang bersesuaian dengan kenyataan dan realitas eksternal.
g.  Ilmu adalah keyakinan benar yang bisa dibuktikan. Ilmu ialah kumpulan proposisi-proposisi universal yang saling bersesuaian dimana tidak berhubungan dengan masalah-masalah sejarah dan geografi.
h.  Ilmu ialah gabungan proposisi-proposisi universal yang hakiki dimana tidak termasuk hal-hal yang linguistik.
i.    Ilmu ialah kumpulan proposisi-proposisi universal yang bersifat empirik.
2.  Sudut pembahasan, yakni apabila subyek epistemologi adalah ilmu dan makrifat, maka dari sudut mana subyek ini dibahas, karena ilmu dan makrifat juga dikaji dalam ontologi, logika, dan psikologi. Sudut-sudut yang berbeda bisa menjadi pokok bahasan dalam ilmu. Terkadang yang menjadi titik tekan adalah dari sisi hakikat keberadaan ilmu. Sisi ini menjadi salah satu pembahasan dibidang ontologi dan filsafat. Sisi pengungkapan dan kesesuian ilmu dengan realitas eksternal juga menjadi pokok kajian epistemologi. Sementara aspek penyingkapan ilmu baru dengan perantaraan ilmu-ilmu sebelumnya dan faktor riil yang menjadi penyebab hadirnya pengindraan adalah dibahas dalam ilmu logika. Dan ilmu psikologi mengkaji subyek ilmu dari aspek pengaruh umur manusia terhadap tingkatan dan pencapaian suatu ilmu. Sudut pandang pembahasan akan sangat berpengaruh dalam pemahaman mendalam tentang perbedaan-perbedaan ilmu.
Dalam epistemologi akan dikaji kesesuaian dan probabilitas pengetahuan, pembagian dan observasi ilmu, dan batasan-batasan pengetahuan. Dan dari sisi ini, ilmu hushûlî dan ilmu hudhûrî juga akan menjadi pokok-pokok pembahasannya. Dengan demikian, ilmu yang diartikan sebagai keumuman penyingkapan dan pengindraan adalah bisa dijadikan sebagai subyek dalam epistemologi.
Dengan memperhatikan definisi dan pengertian epistemologi, maka menjadi jelaslah bahwa metode ilmu ini adalah menggunakan akal dan rasio, karena untuk menjelaskan pokok-pokok bahasannya memerlukan analisa akal. Yang dimaksud metode akal di sini adalah meliputi seluruh analisa rasional dalam koridor ilmu-ilmu hushûlî dan ilmu hudhûrî. Dan dari dimensi lain, untuk menguraikan sumber kajian epistemologi dan perubahan yang terjadi di sepanjang sejarah juga menggunakan metode analisa sejarah.
Perjalanan historis epistemologi dalam filsafat Islam dan Barat memiliki perbedaan bentuk dan arah. Perjalanan historis epistemologi dalam filsafat barat ke arah skeptisisme dan relativisme. Skeptisisme diwakili oleh pemikiran David Hume, sementara relativsime nampak pada pemikiran Immanuel Kant.
Sementara perjalanan sejarah epistemologi di dalam filsafat Islam mengalami suatu proses yang menyempurna dan berhasil menjawab segala bentuk keraguan dan kritikan atas epistemologi. Konstruksi pemikiran filsafat Islam sedemikian kuat dan sistimatis sehingga mampu memberikan solusi universal yang mendasar atas persoalan yang terkait dengan epistemologi. Pembahasan yang berhubungan dengan pembagian ilmu, yakni ilmu dibagi menjadi gagasan/konsepsi (at-tashawwur) dan penegasan (at-tashdiq), atau hushûlî dan hudhûrî, macam-macam ilmu hudhûrî, dan hal yang terkait dengan kategori-kategori kedua filsafat. Walaupun masih dibutuhkan langkah-langkah besar untuk menyelesaikan persoalan-persoalan partikular yang mendetail di dalam epistemologi.

1.  Sejarah Epistemologi dalam Filsafat Barat
Apabila kita membagi perjalanan sejarah filsafat Barat dalam tiga zaman tertentu (Yunani kuno, abad pertengahan, dan modern) dan menempatkan Yunani kuno sebagai awal dimulainya filsafat Barat, maka secara implisit bisa dikatakan bahwa pada zaman itu juga lahir epistemologi. Pembahasan-pembahasan yang dilontarkan oleh kaum Sophis dan filosof-filosof pada zaman itu mengandung poin-poin kajian yang penting dalam epistemologi.
Hal yang mesti digaris bawahi ialah pada zaman Yunani kuno dan abad pertengahan epistemologi merupakan salah satu bagian dari pembahasan filsafat, akan tetapi, dalam kajian filsafat pasca itu epistemologi menjadi inti kajian filsafat dan hal-hal yang berkaitan dengan ontologi dikaji secara sekunder. Dan epistemologi setelah Renaissance dan Descartes mengalami suatu perubahan baru.
2.  Epistemologi di Zaman Yunani Kuno
Berdasarkan penulis sejarah filsafat, orang pertama yang membuka lembaran kajian epistemologi adalah Parmenides. Hal ini karena iamenempatkan dan menekankan akal itu sebagai tolok ukur hakikat. Pada dasarnya, iamengungkapkan satu sisi dari sisi-sisi lain dari epistemologi yang merupakan sumber dan alat ilmu, akal dipandang sebagai yang valid, sementara indra lahir hanya bersifat penampakan dan bahkan terkadang menipu.
Heraklitus berbeda dengan Parmenides, ia menekankan pada indra lahir. Heraklitus melontarkan gagasan tentang perubahan yang konstan atas segala sesuatu dan berkeyakinan bahwa dengan adanya perubahan yang terus menerus pada segala sesuatu, maka perolehan ilmu menjadi hal yang mustahil, karena ilmu memestikan kekonstanan dan ketetapan, akan tetapi, dengan keberadaan hal-hal yang senantiasa berubah itu, maka mustahil terwujud sifat-sifat khusus dari ilmu tersebut. Oleh karena itu, sebagian peneliti sejarah filsafat menganggap pemikirannya sebagai dasar Skeptisisme.
Kaum Sophis ialah kelompok pertama yang menolak definisi ilmu yang bermakna kebenaran yang sesuai dengan realitas hakiki eksternal, hal ini karena terdapat kontradiksi-kontradiksi pada akal dan kesalahan pengamatan yang dilakukan oleh indra lahir.
Pythagoras berkata, “Manusia merupakan parameter segala sesuatu, tolok ukur eksistensi segala sesuatu, dan mizan ketiadaan segala sesuatu. Gagasan Pythagoras ini kelihatannya lebih menyuarakan dimensi relativitas dalam pemikiran.
Gorgias menyatakan bahwa sesuatu itu tiada, apabila ia ada, maka mustahil diketahui, kalau pun iabisa dipahami, namun tidak bisa dipindahkan.
Socrates ialah filosof pertama pasca kaum Sophis yang lantas bangkit mengkritisi pemikiran-pemikiran mereka, dan dengan cara induksi dan pendefinisian, ia berupaya mengungkap hakikat segala sesuatu. Iamemandang bahwa hakikat itu tidak relatif dan nisbi.
Democritus beranggapan bahwa indra lahir itu tidak akan pernah mengantarkan pada pengetahuan benar dan segala sifat sesuatu iabagi menjadi sifat-sifat majasi dimana dihasilkan dari penetapan pikiran seperti warna dan sifat-sifat hakiki seperti bentuk dan ukuran. Pembagian sifat ini kemudian menjadi perhatian para filosof dan sumber lahirnya berbagai pembahasan.
Plato, murid Socrates, ialah filosof pertama yang secara serius mendalami epistemologi dan menganggap bahwa permasalahan mendasar pengetahuan indriawi itu ialah terletak pada perubahan objek indra. Iajuga berkeyakinan, karena pengetahuan hakiki semestinya bersifat universal, pasti, dan diyakini, maka objeknya juga harus tetap dan konstan, dan perkara-perkara yang senantiasa berubah dan partikular tidak bisa dijadikan objek makrifat hakiki. Oleh karena itu, pengetahuan indriawi bersifat keliru, berubah, dan tidak bisa diyakini, sementara pengetahuan hakiki (baca: pengetahuan akal) itu yang berhubungan dengan hal-hal yang konstan dan tak berubah ialah bisa diyakini, universal, tetap, dan bersifat pasti. Dengan dasar ini, iakemudian melontarkan gagasan tentang mutsul (maujud-maujud non-materi di alam akal).
Pengetahuan hakiki dalam pandangan Plato ialah keyakinan benar yang bisa diargumentasikan, dimana pengetahuan jenis ini terkait dengan hal-hal yang konstan. Pengetahuan-pengetahuan selain ini ialah bersifat prasangka, hipotesa, dan perkiraan belaka. Begitu pula, definisi plato tentang pengetahuan dan makrifat lantas menjadi perhatian serius para epistemolog kontemporer.
Lebih lanjut ia berkata bahwa panca indra lahir itu tidak melakukan kesalahan, melainkan kekeliruan itu bersumber dari kesalahan penetapan makna-makna maujud di ruang memori pikiran atas perkara-perkara indriawi.
Aristoteles, murid Plato, lebih menekankan penjelasan ilmu dan pembuktian asumsi-asumsinya daripada menjelaskan persoalan yang berkaitan dengan probabilitas pengetahuan. Iayakin bahwa setiap ilmu berpijak pada kaidah-kaidah awal dimana hal itu bisa dibuktikan di dalam ilmu-ilmu lain, akan tetapi, proses pembuktian ini harus berakhir pada kaidah yang sangat gamblang yang tak lagi membutuhkan pembuktian rasional. Dalam hal ini, prinsip non-kontradiksi merupakan kaidah pertama yang sangat gamblang yang diketahui secara fitrah. Ia menetapkan penggambaran universal, abstraksi, dan analisa pikiran menggantikan gagasan mutsul Plato. Iamenyusun ilmu logika dengan tujuan menetapkan suatu metode berpikir dan berargumentasi secara benar dengan menggunakan kaidah-kaidah pertama dalam ilmu dan pengetahuan yang bersifat gamblang (badihi), dengan demikian, pencapaian hakikat dan makrifat hakiki ialah hal yang sangat mungkin dan tidak mustahil.
Kelompok Rawaqiyun yang yakin pada pengalaman agama dan indra lahir, menolak pandangan tentang konsepsi universal pikiran dari Aristoteles dan konsep mutsul Plato tersebut. Mereka beranggapan bahwa pengetahuan itu adalah pengenalan partikular sesuatu. Disamping meyakini bentuk intuisi batin (asy-syuhud) itu sebagai tolok ukur kebenaran, juga meyakini penalaran rasionalitas.
Epicure (270-341 M) memandang indra lahir sebagai pondasi dan tolok ukur kebenaran pengetahuan. Makrifat yang diperoleh lewat indra itu merupakan makrifat yang paling diyakini kebenarannya, dengan perspektif ini, ilmu matematika dianggap hal yang tidak valid.
Kaum Skeptis beranggapan bahwa kesalahan indra lahir dan akal itu merupakan dalil atas ketidakabsahannya. Sebagian dari mereka bahkan menolak secara mutlak adanya kebenaran dan sebagian lain memandang kemustahilan pencapaiannya. Perbedaan kaum Skeptis dengan kaum Sophis adalah bahwa argumentasi-argumentasi kaum Sophis menjadi pijakan utama kaum Skeptis. Gagasan Skeptisisme muncul sebelum Masehi hingga abad kedua Masehi yang dipropagandai oleh Agrippa (di abad pertama) dan kemudian dilanjutkan oleh Saktus Amirikus (di abad kedua).
Walhasil, epistemologi di zaman Yunani kuno dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan dan kemudian dibahas dalam bentuk yang berbeda dalam filsafat. Dan semua persoalan, keraguan, jawaban, dan solusinya hadir dalam bentuk yang semakin kuat dan sistimatis serta terlontarnya pembahasan seputar probabilitas pengetahuan, sumber ilmu, dan tolok ukur kesesuaian dengan realitas eksternal.
3.  Epistemologi pada Abad Pertengahan (dari Awal Masehi hingga Abad Kelimabelas)
Inti pembahasan di abad pertengahan adalah persoalan yang terkait dengan universalitas dan hakikat keberadaannya, disamping itu, juga mengkaji dasar-dasar pengetahuan dan kebenaran.
Plotinus, penggagas maktab neo platonisme, di abad ketiga masehi melontarkan gagasan-gagasan penting dalam epistemologi.
Ia membagi tiga tingkatan persepsi (cognition): 1. Persepsi panca indra (sensuous perception), 2. Pengertian (understanding), 3. Akal (logos, intellect). Tingkatan pertama berkaitan dengan hal-hal yang lahir, tingkatan kedua adalah argumentasi, dan akal sebagai tingkatan ketiga, bisa memahami hakikat ‘kesatuan dalam kejamakan’ dan ‘kejamakan dalam kesatuan’ tanpa lewat proses berpikir. Dan tingkatan di atas akal adalah intuisi (asy-syuhud).
Augustine (354-430 M) beranggapan bahwa ilmu terhadap jiwa dan diri sendiri itu tidak termasuk dalam ruang lingkup yang bisa diragukan oleh kaum Skeptis dan Sophis, di samping itu iamemandang bahwa ilmu itu sebagai ilmu yang paling benar dan proposisi-proposisi matematika adalah bersifat gamblang yang tidak bisa diragukan lagi. Pengetahuan indriawi itu, karena objeknya senantiasa berubah, tidak tergolong sebagai makrifat hakiki.
Dalam pandangannya, ilmu dan pengetahuan dimulai dari diri sendiri, karena ilmu terhadap jiwa tidak bisa diragukan. Salah satu ungkapan beliau adalah “Saya ragu, oleh karena itu, saya ada“.
4.  Gagasan Tentang Universalia
Salah satu pembahasan inti di abad pertengahan ialah kajian tentang universal dan sumber kehadirannya, yakni apakah universal itu adalah penyaksian mutsul Plato itu sendiri ataukah konsep abstraksi akal yang bersifat universal yang sebagaimana diyakini oleh Aristoteles. Apakah “universal” itu secara mendasar tidak memiliki wujud luar. Apakah “universal” itu hanya sebatas suatu konsep. Apakah “universal” itu hanyalah sebuah kata umum yang bisa mencakup beberapa individu-individu eksternal. Apakah wujud “universal” itu sendiri sama dengan wujud “partikular” yang keberadaannya bukan hanya di alam pikiran, bahkan juga berada di alam eksternal yang sebagaimana maujud-maujud hakiki yang lain?
Sebagai contoh “manusia universal”. Apakah “manusia universal” di sini hanyalah sebuah konsep universal yang ada di alam pikiran semata, ataukah “manusia universal” itu sendiri memiliki realitas eksternal (misalnya ia berada di alam non-materi) yang hanya bisa disaksikan secara intuitif dan syuhudi, ataukah “manusia universal” itu hanyalah sebuah kata umum yang bisa diterapkan pada lebih dari satu objek individual?.
Upaya-upaya pemikiran di abad pertengahan itu tak lain ialah untuk menjawab persoalan-persoalan tersebut. Dalam hal ini, ada tiga perspektif dan aliran pemikiran:
1.  Realisme (universalitas itu memiliki wujud eksternal atau mutsul Plato),
2.  Idealisme (universal itu hanya terdapat dalam alam pikiran atau gagasan Aristoteles),
3.  Nominalisme (menetapkan kata-kata umum yang mewakili individu-individu eksternal).
Boethius (470-525 M) ialah orang pertama yang beranggapan bahwa universal itu hanyalah kata semata, walaupun iaberupaya menyelesaikan persoalan universal itu lewat gagasan Aristoteles.
Roscelin (1050-1120 M) berkeyakinan bahwa yang hanya ada di alam eksternal adalah partikular, sementara universal itu tidaklah memiliki wujud hakiki dan hanya bersifat kata-kata semata.
Peter Abelard (1079-1142 M) memandang bahwa universal itu terdapat di alam pikiran dan konsep-konsep universal itu adalah konsep-konsep abstraksi yang diambil dari maujud-maujud luar dengan memperhatikan sifat-sifatnya, dengan kata lain, universal itu merupakan konsep-konsep yang terdapat dalam pikiran yang menceritakan tentang realitas-realitas hakiki dan eksternal.
Segala kaidah filsafat dan ilmu berpijak pada penerimaan atas konsep-konsep universal, yakni jika seseorang beranggapan bahwa universalitas itu hanyalah sebuah kata semata dan menolak konsep universal itu, maka tidak satu pun kaidah yang iabisa diterima, karena semua proposisi universal akan menjadi proposisi partikular yang hanya terkait dengan individu tertentu saja, dengan demikian, segala proposisi universal yang merupakan pijakan seluruh ilmu dan kaidah-kaidah ilmiah tidak memiliki individu-individu eksternalnya, begitu pula, seluruh filsafat dan hukum-hukumnya tak bermanfaat. Dengan alasan ini, pembahasan “universalitas” memiliki urgensi.
Roger Bacon (1214-1294 M) ialah orang yang berpijak pada empirisme dan positivisme. Ia memandang bahwa alat pengetahuan adalah teks suci, argumentasi, dan experimen. Proposisi matematik yang karena berkaitan langsung dengan experiman bisa diterima.
Thomas Aquinas (1225-1274 M) yakin bahwa rasionalitas dan pemikiran itu sangat bergantung pada pengindraan lahiriah, yakni pertama-tama indra lahir kita berhubungan dengan alam luar, kemudian akan terbentuk konsep-konsep imajinasi, dari konsep ini akal akan membentuk konsep-konsep universal. Perlu diketahui bahwa iabanyak bersentuhan dengan pemikiran filsafat Islam.
William of Ockam (1287-1347 M) adalah seorang yang dikenal sebagai pengingkar konsep-konsep universal. Namun, sebenarnya tidak bisa dikatakan bahwa ia secara mutlak mengingkari dan menolaknya, karena ia menafsirkan “universal” itu sebagai “penghubung” antara pikiran dan objek-objek luar, dan terkadang ia juga menyebut “penghubung” itu sebagai “konsep-konsep”.

Kesimpulan
Filsafat pengetahuan merupakan suatu ilmu yang sangat urgen diketahui dan dipahami oleh peminat ilmu-ilmu univerasal, apatah lagi ia berguna untuk melacak kebenaran suatu mazhab dan ideologi, misalnya sophisme, skeptisisme, rasionalisme, empirisisme, peripatetisme, iluminasi, hikmah muta’aliyah, materialisme, eksistensialisme, humanisme, dan agama-agama. Untuk itu, mari kita bersama mengkaji aliran-aliran epistemologi yang ada dan memperdalam pengetahuan kita terhadap epistemologi yang dikembangkan oleh pemikir-pemikir Islam kontemporer, seperti Allamah Thaba-tahabai, syahid Sadr, Syahid Muthahari, Hairi Yazdi, dan lainnya. Mungkin dengan ini kita bisa memperkukuh keberagaman kita dan tidak terombang ambingkan oleh berbagai isykal dan syubhat yang ditiupkan tentang masalah eksistensi Tuhan, wahyu, kenabian, Maad, dan ajaran-ajaran agama Islam lainnya.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More