Jumat, 05 Agustus 2011

DEFENISI KEBUDAYAAN



Alam semesta adalah tempat yang luas. Tempat yang dihuni oleh begitu banyak makhluk, baik yang mikro maupun makro. Dari sekian banyak makhluk di alam semesta, ada makhluk yang cukup menarik. Dikatakan menarik karena makhluk ini memiliki cara menghidupi alam semesta yang unik dan tak ada duanya – bersama jin –, dibandingkan dengan makhluk lainnya. Makhluk ini dikenal dengan nama ‘manusia’.
Dengan cara menghidupi yang unik ini, manusia membuat alam semesta menjadi sesuatu yang lain. Alam semesta menjadi sesuatu yang lebih dari apa yang dilihat oleh mata, didengar oleh telinga, diraba oleh kulit, dikecap oleh lidah, dan dihirup oleh hidung. Untuk memudahkan pembahasan, marilah kita sebut alam semesta yang dihidupi oleh manusia, sebagai dunia-manusia. Dunia-manusia adalah dunia yang khas yang dihidupi oleh manusia. Dunia yang tidak dihidupi oleh makhluk selain manusia – kecuali jin. Makhluk selain manusia, seperti juga manusia, melakukan aktivitas makan, minum, berkembang biak, ekskresi, dan tidur. Namun, aktivitas tersebut lebih dari sekedar memenuhi kecenderungan naluriah. Kondisi demikian disebabkan oleh aktivitas kesadaran manusia yang memiliki kecenderungan untuk memberikan makna kepada dunia. Oleh karena itu, tidak salah jika kemudian terdapat definisi manusia – oleh Ernest Cassirer – sebagai animal symbolicum atau makhluk yang memberi makna. Kekhasan dunia-manusia ini tidak berarti mengeluarkan makhluk-makhluk yang lain. Akan tetapi, menjadikan makhluk lain sebagai bagian yang dimaknai oleh manusia – dan bukan sebaliknya.
Kemudian, terdapat sebuah masa ketika manusia hendak memahami kehidupannya. Ia melihat bahwa apa yang dijalaninya, berbeda dengan makhluk lain di sekelilingnya. Lalu muncullah keinginan untuk mendefinisikan kehidupan manusia tersebut, bahkan hingga saat ini. Salah satu sebutan yang kita kenal mengenai dunia-manusia adalah ‘kebudayaan’. Kebudayaan, secara etimologis, berasal dari kata budhi dan daya. Budhi berarti kesadaran dan daya berarti kemampuan. Kemudian, secara terminologis, kebudayaan dapat berarti hasil cita, rasa, dan karsa manusia – yang diajukan oleh Ki Hajar Dewantara, yang juga merupakan pengertian umum dalam masyarakat. Sebutan ‘kebudayaan’ yang menunjuk kepada dunia-manusia, digunakan mengingat bahwa dunia-manusia adalah dunia yang muncul berkaitan dengan aktivitas kesadaran manusia. Kebudayaan, kemudian digambarkan sebagai sebuah sebutan yang menyeluruh terhadap kehidupan manusia. dan sebagai keseluruhan, kebudayaan memiliki bagian-bagian yang yang menyusun keseluruhan tersebut. Dari antropologi Barat, mengatakan bahwa kebudayaan terdiri atas sistem keyakinan-peribadatan, sistem kekerabatan, sistem sosial, sistem pengetahuan, sistem teknologi, sistem bahasa, sistem mata-pencaharian, sistem tata-ruang, dan sistem penanggalan. Maka, berdasarkan teori kebudayaan tersebut seluruh hal yang disebutkan adalah bagian dari kebudayaan. Bagian yang muncul dari aktivitas kesadaran manusia atau dikonstruksi oleh manusia.
Cara pandang terhadap kebudayaan pun kemudian mengalami perubahan radikal. Oleh karena melihat pelbagai makhluk dari zaman purbakala hingga kini dan tidak dapat menerima penjelasan – dari Gereja – bahwa setiap makhluk tidak berasal dari makhluk lain, ada sebagian kalangan yang kemudian memunculkan sebuah teori yang bernama ‘teori evolusi’. Teori evolusi adalah teori yang berusaha melihat secara linear (garis lurus) perjalanan kehidupan makhluk di alam semesta. Dikatakan, oleh teori evolusi, bahwa alam semesta bermula saat Big Bang dan kehidupan bermula dari sebuah beberapa organisme sederhana atau bahkan satu organisme sederhana. Organisme tersebut kemudian bermutasi secara bertahap hingga kemudian menjadi manusia. Manusia dikatakan sebagai akhir perjalanan evolusi. Dan sebagai akhir dari evolusi, manusia hadir dengan segala kesempurnaan, khususnya tentang kemampuan kesadarannya. Oleh karena, kesadaran manusia adalah faktor yang membuat manusia dapat menciptakan sebuah dunia khas, yaitu dunia-manusia.
Disebabkan merasa bahwa penjelasan tersebut adalah penjelasan yang paling rasional, teori evolusi diperluas dari bidang ilmu pengetahuan dan arkeologis, ke semua bagian kebudayaan lainnya. Semua sistem dalam kebudayaan dapat dijelaskan dengan rasional oleh teori evolusi.
Namun, uraian tentang dunia-manusia yang seperti di atas, menurut saya memiliki kekurangan. Pertama,lemahnya teori evolusi dan kedua, uraian tersebut mengenyampingkan unsur lain dalam pembentukan dunia-manusia yang mengesankan bahwa dunia-manusia semata-mata hasil dari kesadaran manusia. Hal ini membuat terjadinya reduksi dan bahkan memaksakan penjelasan terhadap segala sesuatu yang sejatinya tidak dapat dijelaskan dengan pandangan tersebut.
Untuk kekurangan pertama, dapat dilihat dari munculnya kritik terhadap teori evolusi dari Michael Denton, seorang ahli mikrobiologis dan Michael Behe, seorang ahli biokimia.
Michael Denton dengan bukunya Evolution: A Theory In Crisis. (Adler, 1996), Memberi kritik terhadap dua sisi, yaitu sisi paleontologi dan mikrobiologi. Kritik paleontologi yang diberikan menyangkut contoh keberadaan ikan hiu perantara dari kuno ke modern. Menurutnya, ikan hiu perantara antara hiu sekarang dengan hiu kuno, tidak ada dalam bentuk fosilnya. Menurutnya pula, ikan hiu sejak kemunculannya sudah sempurna, dan tidak ada satu pun yang bisa disifatkan sebagai memiliki morfologi yang menjadi perantara hiu kuno dan modern. Setiap jenis hiu dan bahkan segala jenis kehidupan dalam bentuk fosil, merupakan jenis yang tersendiri dan terasing serta terpisah tanpa ada suatu kesniambungan keturunan dengan segala jenis kehidupan yang muncul kemudian. Fenomena, yang disebut fenomena ketidaksinambungan, ini juga berlaku pada jenis kehidupan lain. Tiada terdapat suatu hubung-kait atau kesinambungan keturunan antara jenis-jenis yang modern dan kuno. Setiap jenis wujud, memang sudah tersedia secara sempurna dari awal tanpa melalui proses penyempurnaan secara berangsur-angsur dan jenis terdahulu kepada jenis kemudian. Hal serupa juga diuraikan oleh ahli biologi Douglas Dewer dalam bukunya The Transformist Illusion (Murfreesboro, Tennesse:Dehoff Publications,1957), Stephen Jay Gould, George Gaylord Simpson, A. Thompson, Niles Eldrege. Mereka juga mengakui ketidaksinambungan tersebut.
Kemudian kritik dari sisi mikrobiologi, dikenakan kepada cita-cita mikrobiolog yang berharap akan menemukan virus yang akan mengesahkan teori evolusi. Namun, nyatanya hingga saat ini tidak ada. Menurut Denton, sel bakteri yang paling sederhana pun sudah memiliki sistem dan struktur keteraturan internal yang dinamik lagi canggih, yang jauh mengatasi kecanggihan dan keteraturan segala sistem inorganik yang tidak hidup seperti kristal dan sebutir salju. Dari struktur biokimia dasar sel, baik sel bakteri maupun manusia adalah sama pada dasarnya. Ini juga berarti bahwa sel manusia dan sel hewan tidak berasal dan tidak berketurunan dari apa-apa sel kuno yang ‘primitif’ karena semua sel yang ada didapati sudah sempurna dari segi fungsi biologi dasar masing-masing.
Kritik kedua datang dari Michael Behe dalam bukunya, Darwin’s Black Box: The Biochemical Challenge To Evolution (New York: free press,1996). Behe, berbicara tentang peristiwa pembekuan darah yang terjadi ketika tubuh terluka. Menurut penelitiannya, proses pembekuan luka dapat dilakukan jika semua unsur pembeku tersebut sudah ada secara serentak, namun jika tidak, maka tidak akan terjadi proses pembekuan darah. Ia juga menganalogikan hal ini dengan jam. Jam disebut jam dan dapat berfungsi jika setiap bagiannya sudah ada terlebih dahulu secara serentak. Dengan kata lain, keseluruhan melahirkan fungsi yang tidak akan ada jika hanya sendiri-sendiri. Behe ingin menunjukkan bahwa sistem-sistem yang ada di alam semesta merupakan sistem yang canggih dan bersinergis dengan yang lainnya. Ini juga menegaskan bahwa sebelum berfungsi, unsur-unsurnya harus sudah ada terlebih dahulu. Ia menyebut fenomena ini sebagai kompleksitas tak terurai (irreducible complexity). Dari pengamatannya ini, ia menyimpulkan bahwa alam semesta bukan sesuatu yang didahului oleh sebab fisik, tapi sebab rasional (design).
Dapat dilihat bahwa pada saat kemunculan teori evolusi, banyak sekali muncul kritik. Kritik tersebut muncul dari kalangan agamawan gereja maupun dari kalangan saintis. Dan kritik-kritik tersebut masih bermunculan hingga saat ini, namun kurang atau bahkan tidak mendapatkan tanggapan balik dari kalangan evolusionis. Sehingga banyak yang mengatakan bahwa teori evolusi adalah teori yang lebih terlihat sebagai dogma yang dipertahankan, daripada sebagai teori sains.
Sebenarnya, kritik yang diberikan oleh Denton dan Behe, dapat kita perluas untuk melihat dunia-manusia. Hal-hal seperti ketidaksinambungan, struktur yang dinamik dan canggih, dan irreducible complexity, dapat diperluas ke dunia-manusia. Berdasarkan fenomena ketidaksinambungan, dunia-manusia dapat dilihat sebagai entitas yang tidak-sinambung dengan dunia sebelum keberadaan manusia. dunia-manusia adalah sesuatu yang muncul berkaitan dengan kemunculan manusia dan bukan merupakan perubahan yang berangsur-angsur dari dunia yang dihidupi oleh makhluk-makhluk sebelumnya. Kemudian manusia dan dunianya adalah entitas yang dinamik lagi canggih. Entitas yang sudah sempurna, yang hidup sebagaimana manusia hidup – dan juga mati sebagaimana manusia dapat mati. Kemudian fenomena irreducible complexity akan membantu kita untuk melihat bahwa dunia-manusia adalah dunia yang secara keseluruhan mesti sudah ada secara serentak sebelum menjalankan fungsinya. Dunia-manusia sudah ada secara rasional sebelum kemunculannya di dunia. Dunia-manusia ada secara serentak sejak rancangan terhadap alam semesta itu ada. Dunia-manusia sudah memiliki rancang-bangun yang kemudian disampaikan oleh Perancangnya ke dunia. Irreducible complexity juga menunjukkan kebenarannya, dalam melihat kerusakan dan usaha menyelesaikan problem di dunia-manusia. dunia-manusia akan tidak menjalankan fungsinya – untuk menciptakan keselarasan dan keserasian dengan kecenderungan manusia, dalam berhubungan dengan segala sesuatu, Tuhan, alam, orang lain, dan dirinya – jika rusak salah satu bagiannya. Dan juga usaha untuk menyelesaikan problem di dunia-manusia haruslah dilakukan penyelesaian secara menyeluruh di bagian-bagian yang ada. Oleh karena, jika penyelesaian dilakukan secara satu-per-satu, bagian tersebut pun tidak dapat aktif secara baik karena dipengaruhi bagian lain yang masih rusak.
Rancang-bangun itu disampaikan lewat wahyu. Ia adalah design yang diciptakan Tuhan sejak zaman azali. Wahyu adalah sesuatu yang bukan berasal dari kreasi manusia, tetapi merupakan sesuatu yang didiktekan oleh Tuhan. Menurut Naquib al-Attas, dalam Prologomena To The Metaphysics Of Islam, bahwa yang dimaksud dengan wahyu adalah firman Tuhan tentang diriNya sendiri, ciptaanNya, relasi antara keduanya, serta jalan menuju keselamatan yang disampaikan kepada Nabi dan Rasul pilihanNya, bukan melalui suara atau aksara, namun semuanya itu, telah Dia representasikan dalam bentuk kata-kata, kemudian disampaikan oleh Nabi pada umat manusia dalam sebuah bentuk bahasa dengan sifat baru, namun bisa dipahami, tanpa ada campur-aduk atau kerancuan (confusion) dengan subyektifitas dan imajinasi kognitif pribadi Nabi. Wahyu ini bersifat final, dan ia tidak hanya menegaskan kebenaran wahyu-wahyu sebelumnya dalam kondisinya yang asli, tapi juga mencakup substansi kitab-kitab seleumnya, dan memisahkan antara kebenaran dan hasil budaya serat produk etnis tertentu.
Wahyu adalah menyampaikan sebuah rancang-bangun bagi kehidupan manusia yang unik (dunia-manusia). Keyakinan ini adalah keyakinan mendasar yang diakui, dipahami, dan diamalkan oleh pengikut wahyu Tuhan. Yang terjadi dalam perjalanan sejarah “agama” wahyu pun mengafirmasi yang demikian. Para pengikut wahyu tidak menciptakan sesuatu apapun, akan tetapi hanya berusaha menemukan hukum dari wahyu. Dan cara menemukan hukum ini pun ditarik dari cara bagaimana wahyu menjelaskan dirinya. secara luas pun dapat dikatakan bahwa kondisi “evolusi” yang terjadi adalah penyempurnaan pengenalan manusia akan alam semesta. Penyempurnaan pengenalan ini berarti masuk ke dalam ranah pengetahuan manusia. Dikatakan penyempurnaan pengenalan, karena pada dasarnya manusia hanya menemukan atau mengungkap saja apa yang sejatinya sudah ada di alam semesta.
Memaksakan untuk menjelaskan wahyu sebagai kreasi manusia, hanya akan menemui kejanggalan-kejanggalan. Kejanggalan pertama sudah dapat dilihat dari konsep irreducible complexity yang diajukan Behe. Dan kejanggalan kedua adalah problematika dalam menggunakan kata ‘agama’ kepada “agama” berdasarkan pada wahyu. Kejanggalan antara menempatkan “agama” wahyu menjadi bagian dari kebudayaan, yang notabene menandakan bahwa agama adalah kreasi manusia. dan juga kejanggalan dalam memaksudkan bahwa ‘agama’ menunjuk juga kepada keseluruhan sisi “agama” wahyu, padahal ‘agama’ hanya menunjuk kepada sisi sistem keyakinan-peribadatan. Padahal juga jelas bahwa “agama” wahyu memiliki aturan-aturan yang jelas tentang seluruh sisi kehidupan manusia, dan bukan hanya sisi sistem-keyakinan-peribadatan. Lebih jelasnya dapat dilihat kemudian penjelasan saya dalam tulisan Posisi Islam Dalam Wacana Kebudayaan.
Dari uraian singkat ini sudah jelas maksud saya, bahwa sebutan dunia-manusia sebagai ‘kebudayaan’, yang kemudian didefinisikan sesuai secara etimologis, tidak lagi mencukupi. Saya bermaksud mengajak untuk mencari sebutan dan definisi baru terhadap dunia-manusia yang tidak reduksif. Berusaha mencari sebutan dan definisi yang menempatkan unsur-unsur pembentuk dunia-manusia pada tempatnya masing-masing. Tentu, bukan berarti kesadaran manusia tidak penting, tetapi ia memiliki tempatnya sendiri – seperti hanya unsur lain, yaitu alam semesta dan wahyu – dalam pembentukan dunia-manusia.
Walau mungkin perjalanan evolusi belum berakhir. Sebab, ada prediksi bahwa kemunculan alien dengan UFO, adalah manusia yang telah berevolusi dan dengan teknologi canggih dari masa depan, datang ke masa kita.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More