Jumat, 05 Agustus 2011



Pengantar
Pada awal tahun 1960-an, jagad sosial-budaya disemarakkan oleh munculnya perkembangan baru baik dalam dunia kebudayaan maupun dunia pemikiran sosial dan filsafat. Munculnya berbagai mode berpikir dan cara melihat realitas secara baru ini pada umumnya dipengaruhi oleh berbagai kritik kultural maupun politis terhadap krisis kondisi modernitas yang telah melahirkan kecemasan, keterasingan, imperialisme, pembantaian (holocaust) dan perang.
Sejak kelahirannya mode berpikir baru ini terus berkembang dan menjadi perbincangan serius di kalangan filsuf, budayawan, ilmuwan sosial, dan para politikus, baik dalam cara pandang maupun dalam sisi validitas konseptualnya. Hingga kini perdebatan ini telah melibatkan banyak khalayak dan telah memproduksi ratusan literatur di segala bidang di bawah sebuah tema besar yang masih terus diperdebatkan yang kini disebut dengan: posmodernisme. Mereka yang terlibat dalam perbincangan fenomena baru ini di antaranya adalah Theodor Adorno, Max Horkheimer, Jurgen Habermas, Jean-Francois Lyotard, Richard Rorty, Jacques Lacan, Gilles Deleuze, Felix Guattari, Michel Foucault, Derrida, dan masih banyak lagi, termasuk pemikir sosial yang hendak dikupas dalam tulisan ini, yakni: Fredric Jameson.
Berbeda dengan para pemikir lainnya, Jameson memiliki mode berpikir yang tidak kalah unik dan khas dalam wacana posmodernisme. Analisisnya menunjukkan suatu upaya besar untuk merevitalisasi Marxisme dengan cara membangun sintesis antara wacana posmodernisme dan Marxisme. Jameson melihat posmodernisme sebagai totalitas sosial, budaya, ekonomi, politik dan sejarah yang menandai gejala-gejala sosial mutakhir sejak 1950-an seiring dengan munculnya struktur masyarakat baru yang disebut dalam berbagai perbincangan akademis sebagai “masyarakat pos-industrial” (Daniel Bell), atau “masyarakat konsumer”, “masyarakat media”, “masyarakat informasi”, “masyarakat elektronik”, dan lainnya.
Bagi Jameson semua teori tersebut sebenarnya hendak melukiskan sebuah formasi sosial baru yang berbeda dengan struktur sosial kapitalisme lama. Yakni suatu formasi sosial-budaya yang lebih merupakan produk logika budaya kapitalisme multinasional.
Dalam tulisan ini, saya mencoba mengeksplorasi upaya-upaya Jameson membongkar dominasi kapitalisme multinasional dan sekaligus mengetengahkan strategi perlawanan terhadap gejala-gejala ini. Paparan ini saya maksudkan agar kita memiliki perspektif yang lebih luas dan cara baca yang kaya dan mendalam terhadap fenomena ekstasi budaya di sekitar kita.

Sekilas Fredrich Jameson
Fredrich Jameson adalah seorang kritikus budaya paling penting dalam tradisi berbahasa Inggris sekarang ini, dan dikenal sebagai penyokong utama tradisi teori kritis Marxisme Barat. Ia dikenal juga sebagai seorang teoritisi politik Marxis, sekaligus seorang kritikus sastra.
Jameson lahir di Cleveland, Ohio, pada tahun 1934. Setelah kuliah di Haverford College pada tahun 1954, ia bepergian ke Eropa dan mampir di Aix-en Provence, Munich dan Berlin, untuk belajar perkembangan baru filsafat kontinental termasuk strukturalisme. Berselang kemudian dia pindah Amerika dan mengambil studi doktoral di Yale pada tahun 1960 dan menggarap disertasinya dengan judul Sartre: the Origins of a Style, di bawah bimbingan Erich Auerbach, seorang ahli filologi Jerman yang juga pernah menulis sejarah style, yang lalu sangat berpengaruh pada Jameson.
Jean-Paul Sartre, tokoh eksistensialis Perancis ini sendiri adalah figur yang sangat berpengaruh pada tahap awal perkembangan filsafat dan politis Jameson, di samping pengaruh dari dua peristiwa yang saling terkait, yakni berakhirnya McCarthyisme dan munculnya gerakan Kiri Baru (New Left). Pada saat menyelesaikan tesis doktoralnya, Jameson sendiri adalah bagian dari gerakan yang menentang aliran Kritisisisme Baru yang mendominasi Amerika waktu itu. Dan pilihannya terhadap figur Sartre bukan sekadar ingin mempelajari fenomenologi eksistensial, melainkan juga memiliki intensi politik. Bagi Jameson, Sartre merupakan teladan bagi sosok intelektual yang melambangkan intellectual engage dalam politik, yang “bagi keseluruhan generasi intelektual Perancis, dan bahkan bagi para intelektual Eropa, khususnya kaum muda Kiri di Inggris, juga di Amerika seperti saya sendiri, Sartre mewakili contoh intelektual politik, satu dari beberapa model penting yang kita miliki, bahkan seorang model yang serba mencukupi” (Sean Homer, 1998).
Pencarian Sartre terhadap formasi Marxisme yang relevan secara teoritis maupun secara politis bagi Perancis kontemporer dan terpisah dari dogmatisme Partai komunis dan Uni Soviet, berpengaruh sangat kuat pada pandangan Marxisme Jameson. Dan bagi Jameson sendiri Marxisme bukanlah sebuah sistem yang kaku, melainkan suatu wacana yang tersituasikan, pemikiran yang terbuka dan fleksibel yang berkembang sesuai dengan lingkungan historis yang spesifik. Oleh karena itu tugas kaum Kiri adalah membangun bentuk Marxisme yang mungkin sesuai dengan kebutuhan masyarakat Amerika kontemporer dan sesuai dengan ‘masalah-masalah khas yang lahir dari monopoli kapitalisme di Barat’ (Sean Homer, 1998: 9).
Dalam perjalanan karir intelektualnya, Jameson menulis banyak buku. Selain buku disertasinya di atas ia menulis Marxism and Form (1971), The Prison-House of Language (1972), The Political Unconscious (1981), Late Marxisme (!990), Signatures of the Visible (1990), Postmodernism or, The Cultural Logic of Late Capitalism (1991), The Geopolitical Aesthetic (1992), The Seeds of Time (1994) dan the Cultural Turn (1998).
Bukunya Postmodernism or, The Cultural Logic of Late Capitalism (1991) yang akan menjadi fokus kajian tulisan ini sesungguhnya adalah perluasan dari eseinya dengan judul yang sama dalam jurnal New Left Review yang terbit pada 1984. Karya ini adalah yang paling berpengaruh dan sistematis yang memformulasikan wacana posmodernisme dalam kebudayaan, dengan tesis utama bahwa gejala posmodernitas merupakan logika budaya kapitalisme lanjut.

Fenomen Populisme Estetis
Gejala posmodernisme sebagai fenomena kebudayaan mulai menampakkan wajahnya yang khas kira-kira sejak akhir 1950-an dan awal 1960-an. Di masa-masa ini rupanya dunia telah berkembang sedemikian jauh melampaui masa-masa sebelumnya yang ditandai dengan berbagai perubahan radikal baik dalam lapangan kemasyarakatan, kesenian, kebudayaan, kesusasteraan, dan dunia arsitektural (Fredric Jameson, 1999: 1-3). Dalam bidang kesenian, misalnya. Muncul penolakan estetis dan ideologis terhadap gerakan seni modern, seperti: penolakan terhadap ekspresionisme abstrak dalam lukisan. Dalam kesusasteraan, muncul penolakan atas keyakinan adanya representasi final dalam novel dan juga atas aliran puisi modernis sebagaimana yang dikanonisasikan dalam karya Wallace Stevens. Sementara itu dalam pemikiran dan filsafat muncul penolakan atau kritik terhadap eksistensialisme, dan juga ditandai oleh lahirnya sejumlah mode pemikiran yang menyebut gejala-gejala “krisis” atau “kematian”, seperti “kematian ideologi”, “kematian seni”, “kematian kelas sosial”, atau “krisis Leninisme”, “krisis demokrasi sosial”, “krisis negara kesejahteraan” dan seterusnya.
Bersamaan dengan padamnya corak gerakan budaya modern tersebut, lalu muncul bentuk-bentuk ekspresi wajah budaya baru yang coraknya tampak lebih heterogen, empiris dan chaotic. Misalnya dalam seni populer, terdapat photorealisme; dalam musik ada sintesis style-style klasik dan populer seperti dalam karya-karya Phil Glass dan Terry Riley; ada budaya punk; ada gelombang baru musik rok, seperti the Beatles dan the Stones; sementara dalam film ada sinema dan video eksperimental dan juga tipe baru film-film komersial lainnya.
Selain itu ada juga gejala lain yang menunjukkan perubahan yang sangat jelas dan dramatis, yakni dalam dunia arsitektur. Bahkan bagi Jameson, perubahan dalam dunia arsitekturlah awal munculnya perdebatan seputar konsepsi posmodernisme ini. Jameson membedakan apa yang disebut dengan bentuk arsitektur modernisme tinggi (high modernisme) dan arsitektur posmodernisme. Menurut Jameson, gaya arsitektural modernisme tinggi telah merusak karya cipta model kota-kota tradisional dan kultur lingkungan lama dan menggantinya dengan model bangunan tinggi dan menjulang yang secara sosial berkesan angkuh, elitis, terpisah dengan konteks lingkungan sekitarnya, dan tampak otoritarian. Sementara posisi arsitektur posmodern mengritik model semacam ini. Estetika posmodern bersifat lebih populis karena hilangnya batas-batas antara budaya tinggi (high culture) dan budaya massa (mass/popular culture). Populisme ini bukan hanya tampak dalam estetika arsitektural, melainkan juga dalam bentuk budaya massa atau barang budaya komersial yang diproduksi secara massal dalam suatu industri budaya dan dikonsumsi oleh semua lapisan masyarakat.
Singkatnya, posmodernisme pada umumnya ditandai oleh sebuah gejala baru yang disebut dengan “populisme estetis”, yang memungkinkan munculnya berbagai artefak budaya yang bisa dikonsumsi secara massal.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More