Jumat, 05 Agustus 2011

SENI DAN MORAL


SENI DAN MORAL

 

Pengertian umum istiah ‘moral’, seperti diterangkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah: (i) ajaran baik-buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dsb; akhlak; budi pekerti; susila; atau (ii) kondisi mental yang membuat orang tetap berani, bersemangat, bergairah, berdisiplin, dsb; isi hati atau keadaan perasaan sebagaimana terungkap dalam perbuatan; serta (iii) ajaran kesusilaan yang dapat ditarik dari suatu cerita. Namun dalam praktek penggunaannya, tak semua orang juga merujuk kamus. Kebanyakan diantara kita memahami ‘moral’ hanya dalam pengertian (i) tata nilai yang baik dan luhur, tanpa menyadari lagi bahwa pengertian itu berkaitan dengan (iii) sumber-sumber ajaran yang direpresentasikan melalui suatu narasi secara tertentu. Pengertian ‘moral’ bahkan sering terlupakan sebagai (ii) kondisi mental atau perasaan yang direpresentasikan sebagai ungkapan. Pada dasarnya, pada soal representasi inilah paling jelas terkait masalah seni dan moral.
Sejarah masalah mengenai kaitan seni dan moral telah berlaku panjang. Masalah ini tak hanya mencakup soal bagaimana penilaian moral digunakan untuk menilai seni, atau karya seni; tapi juga persoalan bagaimana kita bisa pahami manifestasi penilaian moral seni. Dalam sejarah tradisi estetik dijelaskan bahwa terdapat dua kutub yang sering diposisikan sebagai cara pandang yang bertentangan. Seiring perkembangan prinsip-prinsip penciptaan seni yang menganggap bahwa seni memiliki wilayah penilaian yang otonom, maka berkembang pula pandangan yang menyakini bahwa penilaian moral bagi seni berlaku terpisah dari penilaian yang berlaku bagi pengalaman dan prektek kehidupan. Seni dianggap memiliki wilayah moral tersendiri, dan hanya bisa diuji melalui caranya secara khas. Pandangan ini disebut sebagai sikap ‘nominalisme’, didukung kaum ‘nominalis’, yang berkembang terutama seiring pertumbuhan prinsip-prinsip modernisme dalam seni. Pandang di kutub yang lain, dianggap lebih ‘tradisional’, disebut sebagai sikap ‘utopisme’. Kaum ‘utopis’ ini, sebaliknya, menganggap bahwa moral seni justru semestinya terkait erat dengan perkembangan nilai-nilai yang berlaku dalam pengalaman hidup. Sebenarnya, kedua pandangan ini tetap memiliki titik pijakan yang sama, keduanya berusaha menempatkan posisi penting seni dan moral dalam upaya peningkatan kesadaran manusia terhadap nilai-nilai hidupnya. Dalam perkembangan saat kini, kedua pandangan itu tak lagi dilihat sebagai kutub-kutub yang seolah berbeda sama sekali dan tidak memiliki hubungan satu dengan lainnya. Kini, aspek-aspek dari keduanya tengah digali kembali dan justru dianggap saling memperkaya makna kesatuannya.
Dalam pembicaraan tentang seni dan moral, sebenarnya terdapat aspek lain yang turut memperkaya kaitan diantara keduanya, yaitu: aspek kebebasan. Baik kaum nominalis maupun utopis sama-sama telah mensyaratkan pembicaraan tentang kebebasan. Kaum utopis percaya bahwa seni berkaitan dengan ontologi fiksi dan representasi yang dengan kekuatannya maka seni dan karya seni dianggap memiliki kapasitas untuk menunjukkan bahwa dunia dan segala pengalaman hidup bisa berlaku sebagai hal yang terjadi sebaliknya ?atau, berlaku sebagai hal yang lebih baik. Seni dan ekspresi seni dianggap sebagai unsur yang mampu menghidupkan imajinasi setiap orang terhadap pertimbangan nilai-nilai moral, hingga akhirnya membebaskan beban yang tumbuh dari pengalaman hidup setiap orang. Sedangkan bagi kaum nominalis, ihwal cara menghidupkan dunia kebebasan imajinasi seni secara khusus dan khas itulah yang dianggap jadi perkara utama dan penting. Prinsip bagaimana imajinasi estetis itu ditumbuhkan tak hanya akan menggerakkan kebebasan seniman menyatakan representasi nilai-nilai moral, tetapi juga akan menghidupkan makna kebebasan pihak yang menanggapinya. Tentu saja masalah kebebasan estetis ini berlaku sebagai nilai pengalaman yang bersifat khusus, yang menetapkan semacam jarak tertentu terhadap pengalaman dan praktek kehidupan praktis. Bagi pandangan nominalisme, kebebasan imajinasi estetik ini penting sebagai pra-kondisi bagi segi penilaian moral dan sikap otonom yang bersifat politis.
Dalam perkembangan seni rupa masa kini, termasuk juga di Indonesia, kedua cara pandang itu telah jadi warisan sikap yang berlaku saling terpaut. Segi-segi tertentu yang terbentuk dari masing-masing cara pandangan tersebut kini berlaku campur, atau tumpang tindik, dan tidak seluruhnya bisa terjelaskan secara tegas dan ketat. Berkembangnya persepsi tentang seni dan moral, serta kaitan diantara keduanya, dalam manifestasi karya-karya dalam perkembangan seni rupa Indonesia menegaskan bahwa penerjemahan kedua warisan pandangan itu dianggap bisa berlaku mewakili berbagai pandangan kultural. Persepsi tentang nilai-nilai seni, moral dan kebebasan itu beroerasi dalam berbagai varian praktek kultural yang berbeda-beda, keseluruhannya bercampur dan berada dalam bingkai nilai-nilai yang bersifat umum sekaligus juga khusus; universal juga personal; yang global tapi juga lokal. Pengamatan terhadap segi-segi sensitivitas ekpresi seni toh tetap menunjukkan persepsi umum yang menyatakan anggapan, bahwa: seni, sepanjang seseorang menganggapnya penting, akan selalu berlaku pada sisi nilai kebebasan.
Kebebasan moral dan kebebasan seni adalah dua pokok yang tak lagi bisa dianggap terpisah, sebagaimana halnya kita maklum bahwa bagaimanapun seni susah bisa dipisahkan dari berbagai manifestasi nilai dan praksis hidup. Pandangan kaum nominalis , yang sering disalah artikan sebagai sikap elitis yang memarjinalkan pengalaman hidup, pada dasarnya juga bermaksud memuliakan nilai-nilai pengalaman hidup yang seolah-olah disangkalnya. Kebebasan juga yang menentukan penilaian seseorang tentang nilai-nilai moral, karena pada dasarnya nilai-nilai tersebut hadir serta tumbuh secara jamak dalam berbagai kerangka budaya dan peradaban. Dalam prakteknya, seni merepresentasikan respon seseorang terhadap berlakunya nilai-nilai. Dalam menjalani kehidupan sehari-hari setiap orang tentu akan memiliki apa yang disebut sebagai ‘alasan bagi tindakan keseharian’ (every day reasoning), menyangkut pengetahuan kita tentang bahasa keseharian serta berbagai makna dari asosiasi verbalnya. Alasan-alasan semacam ini tentu bersifat kultural, dikumpulkan serta berlaku sebagai hasil dari pengalaman keseharian aktivitas sosial dan berbagai perhitungan tentangnya. Diantara ‘alasan bagi tindakan keseharian’ tersebut juga berlaku ‘alasan-alasan moral’ (moral reasoning), sebagai praksis yang mendapatkan dasar pembenarannya dari sumber-sumber kepercayaan nilai yang dipahami setiap orang. Dalam prakteknya, praksis moral ini berlaku sebagai keputusan yang secara menerus dihadapkan pada pilihan-pilihan. Seni, kemudian, mengajarkan makna kebebasan demi menyatakan pilihan.
Dalam praktek perkembangan seni rupa Indonesia, sumber-sumber rujukan moral terutama berasal dari berbagai kepercayaan agama dan budaya melalui narasi-narasi serta bentuk-bentuk simbolik yang mewakilinya. Seiring kemajuan modernitas Indonesia, muncul dan berkembang berbagai narasi ‘lain’ yang kemudian jadi rujukan moral. Narasi-narasi ini tak hanya bersumber pada keyakinan religi dan keyakinan budaya lokal saja, tetapi juga merujuk pada keberlangsungan tata nilai yang besifat global ?muncul sebagai issue-issue mengenai, misalnya: keseimbangan ekosistem dunia, perdamaian dunia, keadilan sosial, gaya hidup global, mitologi peradaban manusia, dll. Dalam implementasinya, berbagai rujukan tersebut saling bercampur dan berinteraksi. Manifestasi karya-karya dalam bingkai relasi seni dan moral ini, sedikitnya, bisa dinyatakan melalui tiga ‘strategi’ atau cara penyampaian, yaitu: (a) pernyataan tentang nilai-nilai keutaman serta kebaikan (goodness); (b) pernyataan melalui humor; dan (c) pernyataan yang mempertanyakan atau penyampaian kritik.
Ihwal nilai keutamaan serta kebaikan merupakan manifestasi yang berlaku umum di Indonesia; menyatakan keyakinan seseorang tentang makna kehidupan yang semestinya dijalani setiap orang. Representasi karya-karya dalam cara ini menyampaikan, baik secara langsung maupun tidak langsung, persoalan moral sebagai arah rujukan makna-makna yang bisa digali pada karya-karya yang dikerjakan para seniman. Asumsi utama yang mendasari pengerjaan karya-karya dalam cara ini, adalah: penempatan alasan, ataupun jawaban, moral sebagai pijakan makna-makna menyangkut persoalan yang jadi daya tarik atau tantangan bagi para seniman untuk dinyatakan sebagai karya.
Pernyataan melalui cara humor adalah fenomena yang umum dan berlangsung di berbagai bentuk peradaban dunia. Dalam prakteknya, pernyataan humor ini disampaikan dengan cara yang berbeda-beda, dipengaruhi oleh kebiasaan, tradisi, maupun kode-kode budaya tertentu yang berlainan. Namun demikian, akan selalu terdapat benang merah yang kadang mampu menunjukkan persinggungan jenis ‘selera humor’ satu peradaban dengan yang lainnya. Humor, bagaimanapun, adalah manifestasi dari suatu ‘versi yang lain’ terhadap versi [penilaian, persepsi tentang kenyataan] yang dianggap umum dan telah dilumrahkan. Humor menjadi semacam ‘sub-versi’. Humor dan lelucon merupakan sebentuk ‘penyimpangan’, bahkan bisa berlangsung sebagai manifestasi dari sesuatu di luar aturan ?jadi manifestasi dorongan ‘dis-order’. Representasi humor sering dikaitkan, pada maknanya, sebagai suatu bentuk perlawanan. Sesungguhnya, tidak selamanya berlaku seperti itu. Representasi humor justru tidak menunjukkan secara pasti pendirian yang membela satu sisi pandangan tertentu (misalnya sebagai kubu yang melawan versi atau order resmi), selain ‘hanya’ menunjukkan kandungan versi ketidak-sepahaman. Humor bisa dianggap sebagai representasi ketidak-sepahaman (discord) tanpa pernyataan konflik
Karya-karya yang menunjukkan kritik atau pernyataan yang mempertanyakan adalah juga versi lain dari representasi sikap ketidak-sepahaman. Manifestasi karya dalam cara ini mengajukan ekspresi sikap meragukan atau menanyakan ulang situasi atau berbagai persepsi tentang realitas yang telah dianggap berlaku umum. Lebih jauh, bahkan karya-karya tersebut menunjukkan sikap tidak percaya. Pernyataan tentang batas sikap percaya dan tidak percaya ini bisa dinyatakan dalam representasi masalah secara langsung (dengan berterus terang), maupun secara tidak langsung (dalam tipuan-tipuan penyataan).
Ketiga cara yang menyampaikan cara hubungan seni dan moral ini, tentu saja, tidak bisa dianggap terpilah-pilah secara tegas dan ketat. Sebaliknya, justru, lebih banyak menunjukkan kandungan persinggungan soal. Karya-karya yang mengandung salah satu aspek cara tertentu penyampaian hubungan secara menonjol, bisa saja memiliki kaitan dengan cara-cara penyampaian yang lainnya.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More