Jumat, 05 Agustus 2011

Eksistensialisme Tentang Ontologi: Pemikiran Jean-Paul Sartre


Kajian Eksistensialisme Tentang Ontologi:
Pemikiran Jean-Paul Sartre
ekky al-malaky

Eksistensialisme menyeruak dunia filsafat semenjak Perang Dunia II (Sutrisno : 1987). Diantara para tokohnya adalah Heidegger, Gabriel Marcel, Nietsze, Kieerkegaard, Sartre, Jaspers, dan Levinas. Yang dianggap bapak Eksistensialisme adalah Soren Kiekeergaard.
Dalam perkembangannya eksistensialisme, Sartre memetakannya ke dua kubu. Pertama adalah kubu Katolik seperti Jaspers dan Marcel yang bergerak menuju Tuhan. Kubu lainnya adalah eksistensialis ateis yaitu Sartre, Heidegger, dan eksistensialis Perancis lainnya (Bertens :1987. Tetapi ada kesamaan dalam pemikiran kaum eksistensialis itu, yaitu :
1.  Motif pokoknya adalah eksistensi, cara khas manusia berada. Pusat perhatian adalah manusia.
2.  Bereksistensi adalah dinamis, menciptakan dirinya secara aktif, berbuat, menjadi, merencanakan. Manusia, setiap saat, selalu berubah kurang atau lebih dari keadaan sebelumnya. Tidak ada 'state of being'.
3.  Manusia dipandang terbuka, sebagai realitas yang belum selesai. Pada hakikatnya, manusia terikat kepada dunia sekitar, terutama kepada sesama manusia
4.  Memberikan tekanan pada pengalama eksistensial kongkrit manusia misalnya kepada kematian, penderitaan, kesalahan, perjuangan. (Hadiwijono : 1980)
Paper ini berusaha memaparkan tentang kajian eksistensialisme tentang ontologi, dengan menitik beratkan pada masalah 'ada'-nya manusia.

Eksistensialisme dalam kajian Ontologi
Dalam kaitannya dengan masalah ontologi dan metafisika, memakai metode yang agak berbeda dengan cara-cara yang pernah dikenal sebelumnya, misalnya materialisme dan idealisme. Yang dimaksud dengan eksistensi disini adalah cara manusia berada di dunia ini. Cara yang khusus, berbeda dengan benda-benda, dan hanya berlaku bagi manusia. Eksistensi disini tidak sama dengan 'mengada'. Sebagai ilustrasi, manusia sibuk dengan dunia luar, dia mencurahkan dirinya untuk dunia luar, karena itu seolah-olah dia ada diluar dirinya sendiri. Tetapi, justru karena keluar dari dirinya itulah dia sampai ke dirinya sendiri . Itulah yang disebut eksistensi : berdiri sebagai diri sendiri dengan keluar dari diri sendiri. Heidegger mengistilahkannya dengan Dasein. Dan 'ada'nya manusia ini, kata Sartre, bukanlah etre, tetapi a etre, yaitu, manusia tidak hanya ada (being) tetapi juga selamanya harus membangun ada-nya tersebut. Ada-nya terus menjadi (becoming), berproses tanpa henti, tidak pernah selesai. Heidegger mengistilahkannya dengan "zu sein", sedangkan gerakan memperbaharui diri ini disebutnya eksistensial.
Eksistensialisme adalah corak pemikiran jaman modern yang merupakan pemberontakan terhadap model pemikran sebelumnya, yaitu materialisme dan idealisme (Drijarkara :1981). Bagi materialisme, pada dasarnya segalanya sesuatu pada instansi yang terakhir hanyalah materi, termasuk manusia.
Jadi, manusia hanyalah akibat dari proses-proses unsur kimia, fisik, fisiologis, sosial yang dari luar diri manusia semata, sehingga menjadikannya sebuah benda diantara benda-benda lainya. Sifat khusus tentang cara manusia berada disangkal dan dilalaikan. Manusia hanya diposisikan sebagai objek. Menurut Rene Le Senne, kesalahan materialisme adalah detotalisation, detotalisasi, memungkiri totalitas manusia dengan cara mereuksi manusia hanya dari unsur materi saja.
Padahal menururt kaum eksistensialis, manusia mempunyai kehendak bebas, mengerti etika, dan membangun kebudayaan. Manusia tidak hanya berada didalam dunia, tetapi juga menghadapi manusia. Manusia menjalani kehidupan yang selalu berarti membuat dan menjalankan makna-makna. Itu berarti manusia mempunyai kesadaran. Sadar akan dirinya sendiri, sadar akan objek-objek yang disadarinya. Manusia yang memiliki kesadaran ini menjadi Subjek, bukan lagi objek semata. Mengutip Maurice-Merleau Ponty : "manusia tidak hanya dimuat (englobe) oleh dunia, tetapi juga memuat (englobant) dunia.". Manusia yang disebutkan oleh materialisme, meminjam istilah Sartre, hanyalah etre-en-soi (ada-dalam-diri) saja, belum etre-pour-soi (ada-bagi-diri).
Eksistensialisme juga memberontak terhadap idealisme. Bagi idealisme, antara kesadaran dan alam di luar kesadaran tidak ada sangkut pautnya. Sedangkan kedudukan manusia adalah melulu sebagai Subjek. Padahal, manusia juga bisa menjadi objek. Bagi Eksistensialisme, manusia bisa menjadi Subjek sekaligus Objek.
Bagi kaum eksistensialis, semangat "aku berpikir maka aku ada" dibalik menjadi "aku ada maka aku berpikir" (Sutrisno : 1987). Bagi mereka, Eksistensi mendahului esensi. Karena itulah, meskipun banyak dipengaruhi oleh Fenomenologi Hurssel, tetap saja Sartre menolak "Eidos" (esensi) karena mengasumsikan adanya tujuan akhir (Bertens : 1996). Sebelum melihat pemikiran Sartre, akan dipaparkan pemikiran eksistensialis lainnya secara sekilas.

Kiekergaard
Baginya, bentuk kehidupan manusia ada tiga macam. Pertama, estesis, yaitu yang pikirannya hanya diarahkan ke hal-hal di luar dirinya. Manusia berpikir untuk berpikir. Kiekergaard membenci alam pikiran seperti itu. Bentuk kedua adalah etis, manusia memusatkan pikirannya kedalam dirinya sendiri. Ini juga masih ada dialam kekaburan, belum lepas dari alam estesi. Ini masih belum cukup. Tahap ketiga adalah bentuk religio atau keagamaan. Sebagai orang Kristen, manusia harus mengikat dirinya total ke Tuhan. Hanya dengan demikian manusia berdiri di depan Tuhan, dan hanya dengan didepan Tuhanlah--dengan penuh dosa yang membebaninya--manusia mempunyai eksistensi yang wajar. 'ada'nya manusia adalah manusia dihadapan Tuhan dengan penuh kesadaran bahwa dirinya penuh dosa dan dalam ketakutan. Tetapi justru dalam suasana suram itulah Tuhan menolongnya.

Heidegger
Membicarakan Heidegger disini amat penting, sebab pengaruhnya terhadap Sartre cukup besar. Heidegger merumuskan kembali pertanyan tentang "ada". pertanyaannya adalah "apa makna mengada" (what is meant to be). Dan karena 'ada' tidak bisa diungkapkan dengan positif, maka dilakukan dengan pernyataan negasi terhadap 'ada'. (Siswanto :1998) Dasein (being-there) merupakan eksistensi manusia didunia empiris ini. Baginya manusia selalu ada dalam dunia, bersama seluruh benda-benda (being-in-the-world).
Manusia terlemparkan kedalam realitas dengan tidak tahu karena apa , atau asal usulnya (gewoerfen-sein). Karena ituah manusia menjadi cemas (Angst). Karena cemas, manusia sibuk dengan Zuhadenes (lingkup dunia sarana-sarana) dan Vorhandenes (lingkup dunia benda-benda), sampai lupa mengurus 'ada'-nya sendiri. Kecemasannya semakin menjadi karena sadar bahwa perjalanannya ternyata harus bermuara adalah kematian. Proyek kehidupannya berakhir dengan kematian (Sein Zum Tode).
Dengan demikian, realitas dunia menampakkan diri sebagai tiada. ada-dalam-dunia, itu tanpa arti dan tanda guna, 'ada' itu berawal dari 'tiada' dan menuju 'tiada'. Kesadaran manusia akan 'tiada' itu membuat manusia cemas dan putus adsa. Ia hanya tinggal menanti 'tiada' itu. tiada' itu pengingkaran total terhadap semua 'pengada (das Seienden), namun 'tiada' itu sendiri bukanlah 'pengada'. 'tiada' itu meniadakan 'pengada'.
Mengada ialah terjadinya aletheia, yaitu proses mengada itu menampakkan dan menyembunyikan diri (tertutup ) secara anonim, dalam historisitasnya, manusia tepasksa selalu memilih, sehigga ia tidak dalat menguasai segala kemunginan, kecuali dengan memilih menutrup kemungkinan tertentu, karena itulah manusia selalu bersalah.
Selain Perasaan bersalah ini didalam ketertutupannya ini juga terkandung unsur kesemuan. Semua ini diakibatkan oleh kecemasan manusia menghadapi 'mengada'. Sehingga manusia melarikan diri ke dalam keadaan kemerosotan, yang dikongkretkan dalam kegagalan manusia untuk menghayati tiga aspek hakiki manusia dalam eksistensinya (kepekaan, pemahaman, berbicara). Inilah tragedi manusia yang tidak dapat dihindari. Tetapi ada harapan, bahwa melalui penderitaan kegagalan itu, manusia akan memahami 'mengada', dan pemahaman itu akan membuat manusia utuh (heil) dan menyembuhkan (heilen). Untuk mengatasi kecemasan, ada dua cara. Pertama, melarikan diri dari dirinya dengan tidak mengakui bahwa Dasein itu menuju kematian. Manusia terus bersibuk menggarap sarana. Dasein dihayati sebagai Eksistenz, sehingga ia mengalami dirinya sungguh sungguh ada. Sedangkan cara kedua adalah sadar tentang kematian dan menghayatinya dengan kesadaran dan ketegaran, dan inilah hidup yang sejati.

Jaspers
'Ada' (das Sein) bukanlah hak yang objektif, yang dapat diketahui setiap orang. Orang harus bersusah payah mencarinya dengan beberapa tahap. Sebuah benda, katakanlah meja, bukanlah 'ada' yang sebenarnya, tetapi 'ada' yang terbatas dan tertentu. 'ada' yang sebenarnya adalah yang umum dan merangkum segala yang berada sevara terbatas dan tertentu itu. 'ada' seperti ini tidak dapat diraih, atau dim,asukkan dalam kategori, inilah das Ungreifende (yang merangkum).
Jaspers juga mengatakan bahwa eksistensi tidak dapat dijadikan objek,. Tetapi eksistensi adalah apa yang ada didalam mite disebut jiwa, yaitu titik pangkal darimana kita berpikir dan berbuat. Eksistensi juga bukan subjektivitas, ia berada diluar pembedaan subyek-objek, dan tidak dapat diuraikan dengan pengertian-pengertian dalam suatu sistem tertutup, dan  hanya bisa diterangkan dengan kategori sendiri yaitu kebebasan, komunikasi, dan sejarah.
Tetapi itu semua mengalami kegagalan setelah bertemu dengan kematian. Berbeda dengan Heidegger, Jaspers memandang bahwa kematian dengan lebih positif. Justru dibelakang segala kegagalan itu masih ada transenden, yang tidak terbatas, dan tidak dapat binasa, yang dapat dianalogikan dengan Tuhan. Jaspers berusaha mengatasi segaa kegagalan dalam memenuhi Dasein serta pengalaman keruntuhannya dengan pemisahan subjek-objek melalui  kepercayaan fisolofis. Bagi Jaspers, manusia tidak boleh mencari dan mengusahakan jalan kegagalan, karena bukan itu jalan yang sebenarnya. Didalam kegagalan itulah orang mengalami 'ada', mengalami yang transenden.

Gabriel Marcel
Manusia tidak hidup sendirian, tetapi bersama yang lain. 'ada' (esse) bagi Marcel selalu berarti "ada-bersama", (co-esse). Kata kuncinya adalah : "kehadiran" (presence). Syaratnya, haruslah "Aku-Engkau", dimana masing-masing mengadakan kontak dengan sungguh-sungguh dan masing-masing mengarahkan dirinya dengan cara berlainan dengan objek lainnya, bukan "Aku-Itu". Walaupun berjauhan, hubungan "Aku-Engkau"akan dirasakan sebagai kehadiran. Realisasi yang istimewa dari kehadiran adalah dengan cinta. Aku dan Engkau disini mencapai taraf "Kita". DAlam cinta ini "aku"mengikat diri dan tetap setia. Mencintai adalah mengatakan :"engkau takkan mati".
Pemikirannya yang terkenal adalah tentang harapan . Kematian sebagai akhir perjalanan manusia dapat diatasi dengan cinta kasih dan kesetiaan, bahwa : "ada Engkau yang tidak dapat mati". Harapan menerobos kematian, dan adanya harapan menunjukkan bahwa kemenangan kematian adalah semu. Harapan tidak bisa mati.

Pemikiran Ontologi Sartre
Satre memdikotomikan status ontologis manusia menjadi dua, etre-en-soi (being-in-itself, ada-dalam-dirinya) dengan etre-pour-soi (being-for-itself, ada-bagi-dirinya). Manusia sebagai en-soi adalah manusia yang tidak berkesadaran. Statusnya sama seperti kambing, sayuran, dan batu. Dia dilihat hanyalah seonggok benda saja. "Dia gelap bagi diri sendiri, karena padat dan penuh dengan diri sendiri". Apa yang ada adalah identik dengan dirinya sendiri, It is what it is. Keadan ini bersifat masif, tertutup rapat, tanpa lobang, tanpa celah, self-contained, dan tidak ada hubungan dengan apa pun juga . En-soi itu ada karena ada secara kebetulan, dan bukan ciptaan tuhan. Karena, andaikata diciptakan Tuhan maka, en-soi itu ada didalam pikiran Tuhan atau diluarnya. Bila didalam, maka belum tercipta, bila diluar maka ia bukan ciptaan karena berdiri sendiri.
Sedangkan dalam etre-pour-soi manusia sudah mempunyai kesadaran tentang sesuatu diluar dirinya . Sadar akan adanya Subjek dan Objek, sadar bahwa ada jarak antara diri dan kesadaran. Dan sadar akan sesuatu, akan adanya jarak, bagi Sartre adalah meniadakan (neantiser) sesuatu. Sadar akan diri sendiri adalah meniadakan diri sendiri. Ketika menjadi pour-soi, pengada itu menjadi retak, karena ia mempunyai kesadaran. Memang kesadaran menghubungkan subjek dengan yang bukan subyek (objek) tetapi juga memecah, meretakkan yang utuh menjadi banyak, yang padat menjadi tidak padat, yang sendiri menjadi tidak sendiri lagi. Itu semua ditiadakan (le Neant). Dia sekarang tidak identik dengan dirinya sendiri. A bukanlah A karena sadar tentang dirinya. Contohnya : ketika A sedang berbuat, dia sadar bahwa dia sedang mengadakan perubahan, peralihan, berproses untuk 'menjadi', dia sadar bahwa dia sedang melakukan peralihan itu. Peniadaan itu terjadi terus menerus, tidak pernah berhenti sebab manusia tidak pernah berhenti berbuat sesuatu. Dia selalu bukan dia, karena selalu meluncur ke dia. Dia selalu membelum. Jadi, proses itu tidak pernah selesai ,selalu meniadakan dirinya dan berusaha untuk menjadi dia yang lain. Justru karena kebebasannya bereksistensi itu dipandang sebagai sebuah kutukan, hukuman, dan keterpaksaan. Etre-pour-soi selalu ingin menjadi etre-en-soi-pour-soi, sekaligus keduanya, dan itu tidak akan pernah terjadi (kalaupun ada berarti itu milik Tuhan, sesuatu yang ditolak Sartre, karena tidak mungkin en-soi dan pour-soi bersatu). Itulah kesia-siaan, dan itulah eksistensi manusia. Manusia selalu meniada dan tidak bisa tidak harus terus meniada. Tidak ada aspek membangun,tidak ada ketetapan. Proses itu adalah suatu kesia-siaan karena tidak mungkin bisa menyatu antara en-soi dan pur-soi, dan proses itu berhenti ketika kematian tiba.

Analisa
Ada beberapa hal yang patut dicermati seputar ada-nya manusia didunia menurut Sartre.
1.  Sejauh yang saya tahu, Sartre tidak membincangkan tentang solusi solusi bagaimana manusia keluar dari 'lingkaran setan' yang bermuara pada kesia-siaan itu. Dia hanya menasehati kita agar jangan memandang ke dalam, tetapi memandang keluar, ke pekerjaan dan tugas kita, kepada masa depan yang sedang dibangun (Hadiwijono : 1980, Drijarkara : 1981). Tetapi tetap saja, sulit membangun masa depan jika kita tidak percaya dan selalu curiga kepada orang lain yang dianggapnya neraka. Dalam membangun hdibutuhkan kerjasama dan saling percaya.
Heidegger, yang dianggapnya sealiran atheis dengannya, menyodorkan alternatif. Pertama, melarikan diri dari dirinya dengan tidak mengakui bahwa Dasein itu menuju kematian. Manusia terus bersibuk menggarap sarana. Dasein dihayati sebagai Eksistenz, sehingga ia mengalami dirinya sungguh sungguh ada (pernyataan Sartre diatas mirip dengan pernyataan ini). Dan dengan itu pula manusia bisa membangun peradaban. Kedua adalah sadar tentang kematian dan menghayatinya dengan kesadaran dan ketegaran, dan inilah hidup yang sejati.
Marcel mengatasi kesia-siaan dan kematian dengan toeri cinta dan harapan. Jaspers, walaupun masih terasa kabur menurut saya, mengatakan bahwa manusia harus tidak mencari dan berusaha menuju jalan kesia-siaan, manusia harus memberontak dan melawan lingkaran-setan itu. Mungkin, yang kurang dipunyai oleh Sartre adalah tujuan hidup tertinggi, karena memang manusia 'ada' karena terlempar, 'ada' begitu saja sebagai en-soi, dan "sialnya" juga menjadi pour-soi.
Agaknya, Sartre terlalu negatif dan pesimistis dalam memandang dunia. Mungkin karena zeitgeist nya masanya begitu suram sehingga lahirlah pemikiran demikian.
2.  Patut dipertanyakan lagi, misalnya : Apakah benar bahwa manusia yang berproses dan selalu menidak itu ingin kembali ke en-soi atau mensintesakannya dengan pour-soi. Kalau memang benar, mengapa manusia terkesan kelelahan dalam 'kutukan' kebebasan itu dan memutuskan bersintesa menjadi etre-en-soi-pour-soi ? Mengapa Sartre justru berpendapat ingin kembali ke sebuah keadaan dimana dia sendiri menilai keadaan itu memuakkan ? Mengapa tidak mencari jalan keluar yang lain ?
3.  Terakhir, saya ingin membandingkannya Sartre dengan Ali Shariaty, seorang filsuf Islam pengagum Sartre. Agak mirip dengan para eksistensialis relijius diatas. Baginya tujuan perjalanan manusia adalah bersatu dengan Tuhan, dan kebebasan (bersama dengan kreativitas dan kesadaran) dinilai bukan sebagai kutukan tetapi justru sebagai anugerah dari Tuhan untuk memimpin dunia dan membangun peradaban. Justru karena kebebasan kita, menurut Shariaty, kita menghancurkan lingkaran setan diatas (yang digambarkan dengan empat penjara determinisme, yaitu sosiologisme, historisisme, biologisme, dan Ego) dan berjalan menuju Tuhan, ketika hidup atau sesudah kematian. Dan tujuan 'ada'-nya manusia bukannya kesia-siaan, tetapi setiap manusia--karena kebebasannya itu--mengemban misi profetik membangun dunia sebagai khalifah dan nanti akan dimintai pertanggungjawabannya akan tugas-tugasnya itu.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More