Jumat, 05 Agustus 2011

EKSISTENSI MANUSIA DALAM PERSPEKTIF TASAWUF


EKSISTENSI MANUSIA DALAM PERSPEKTIF TASAWUF

Agama sangat dibutuhkan oleh manusia dalam kehidupan. Agama menandai kekhasan manusia sebagai makhluk yang paling sempurna dibanding makhluk lain. Peneguhan eksistensi manusia menjadi orientasi agama. Tasawuf merupakan salah satu model penghayatan terhadap agama, yakni penghayatan terhadap aspek batin agama. Spiritualitas mendapatkan prioritas dalam tasawuf, tanpa mengesampingkan potensi kemanusiaan yang lain. Spiritualitas justru menjadi “motor” peneguhan kemanusiaan, dengan mengaktualisasi segala potensi kemanusiaan itu. Tasawuf merupakan fenomena keberagamaan yang telah melembaga. Lebih dari itu, tasawuf berdampak juga terhadap aspek-aspek kehidupan lain.

Permasalahan Di Sekitar Tasawuf
Terdapat pendapat pro dan kontra tentang pengaruh tasawuf terhadap kehidupan umat Islam. Pada satu sisi, tasawuf dituduh sebagai faktor penyebab kemunduran umat Islam. Tasawuf dituduh mengajarkan kepasifan dan anti vitalitas. Tasawuf dituduh melahirkan apatisme terhadap eksistensi kekinian manusia. Di sisi lain, tasawuf justru diklaim sebagai upaya mempertahankan prinsip-prinsip agama dan kemanusiaan di tengah ketidak-menentuan tata aturan kehidupan yang dipraktekkan manusia (Lidinillah, 1995:1).
Perbincangan tentang tasawuf menjadi semakin menarik dengan munculnya fenomena kesadaran yang semakin intens di kalangan intelektual terhadap spiritualitas untuk memperteguh eksistensi manusia. Kesadaran semacam itu menjadi motivasi orang tertarik dan butuh dengan hidup secara spiritual. Salah satu jawaban terhadap kebutuhan hidup secara spiritual ditemukan dalam tasawuf. Persoalan yang menarik untuk dicari jawabannya secara lebih spesifik adalah makna eksistensi manusia dalam perspektif tasawuf, kemungkinan kesanggupan jalan sufi menjadi prosedur alternatif bagi upaya peneguhan kemanusiaan.

Permasalahan Di Sekitar Eksistensi Manusia
Eksistensi manusia menjadi bahasan aktual dalam filsafat, dan pernah sangat populer pada kurun waktu tertentu sehingga muncul filsafat eksistensialisme. Filsafat eksistensialisme merupakan suatu protes. Filsafat eksistensialisme menolak mengikuti salah satu aliran, keyakinan, khususnya sistem filsafat yang ada sebelumnya. Filsafat terdahulu bagi mereka bersifat dangkal, akademis, dan jauh dari kehidupan. Hal itu harus diluruskan. Eksistensi manusia harusnya menjadi titik pangkal pemikiran filsafat (Dagun, 1990:16).
Eksistensialisme sebagai suatu gerakan filsafat merupakan suatu usaha yang lebih memadai untuk memahami watak manusia sebagai individu. Munculnya eksistensialisme dalam beberapa hal adalah suatu protes terhadap bentuk-bentuk rasionalisme yang mengutamakan intelektualitas untuk memahami realitas.
Eksistensialisme juga merupakan reaksi terhadap kecenderungan yang lebih memandang manusia sebagai suatu benda (a thing) daripada sebagai seorang pribadi (a person), eksistensialisme juga menekankan ide bahwa terdapat unsure subjektif sebagaimana unsur objektif di dalam makna kebenaran (Patterson, 1971: 162).
Istilah eksistensi mengalami perluasan arti. Istilah eksistensi pada mulanya menunjuk pada pengalaman akan kenyataan. Segala yang bereksistensi dengan cara tertentu harus terdapat dalam ruang dan waktu, dan harus merupakan objek cerapan indera (Kattsof, 1986:209). Kemudian, istilah eksistensi menunjuk pada kesadaran manusia, yang dalam moralitasnya, dapat mengekspresikan identitas dirinya. Istilah eksistensi dalam pengertian yang pertama maupun kedua selalu mengarah kepada manusia. Istilah eksistensi menjelaskan apa yang menentukan pengertian manusia terhadap dirinya sendiri yang independen. Eksistensi bukan hanya berarti keberadaan manusia, tetapi juga cara berada manusia yang bertolak dari kesadaran sebagai diri (Dagun, 1990:27).
Hakikat manusia terletak dalam eksistensinya. Pemahaman terhadap eksistensi manusia bertolak dari tiga aspek yang integral. Pertama, manusia merupakan keberadaan jasmani yang tersusun dari bahan material. Kedua, keberadaan manusia tampak sebagai sosok atau organisme hidup yang menyatu dalam tampilan individu jasmani. Ketiga, manusia mempunyai ciri kehidupan mentransendensi dan meneguhkan diri sebagai eksisten (Dagun, 1990: 8).
Apabila peneguhan diri sebagai eksisten itu bertolak dan hanya mungkin dari intelektualitas dan spiritualitas manusia, maka agama menyediakan fasilitas itu. Agama pada dasarnya adalah cara untuk meneguhkan keberadaan manusia (modus of existence) (Fauzi, 1992: 155). Jalan tasawuf relevan dengan persoalan eksistensi manusia. Tasawuf dapat menjadi prosedur alternatif bagi upaya peneguhan diri, yakni peneguhan akan kedirian manusia.

Tasawuf Sebagai Modus Peneguhan Diri
(Tasawuf Sebagai Mistisisme Khas Islam)
Mistisisme dalam arti sempit, searti dengan kata ekstase yang berarti berada di luar diri, mistisisme dikaitkan dengan keadaan emosional yang luar biasa di mana orang kehilangan kesadaran. Mistisisme, dalam arti luas, adalah berkenaan dengan segala pengalaman non dan supra rasional, yang meliputi segala gejala di satu sisi hilangnya kesadaran, dan di sisi lain meningkatnya kesadaran. Tujuan jalan mistisisme adalah mengatasi keterbatasan sejarah, budaya, dan kepribadian agar mencapai kesatuan dengan Yang Ilahi dan sekurang-kurangnya memberi kemungkinan Yang Ilahi mendekati roh manusia (Crapps, 1993: 47).
Mistisisme sering dianggap sama secara essensial, terlepas dari perbedaan agama yang dianut para mistikus. Mistisisme dipandang sebagai gejala yang tetap dan sama dari kerinduan universal manusia untuk bersatu dengan Tuhan. Anggapan semacam itu dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa setiap gerakan keagamaan muncul dan berkembang selalu berbenturan dengan keyakinan lain yang telah mapan, yang cenderung memberikan pengaruh (Arberry, 1985: 7).
Tasawuf adalah sebutan untuk mistisisme Islam. Terdapat berbagai pendapat mengenai makna tasawuf ditinjau secara etimologis. Satu pendapat mengatakan, istilah tasawuf berasal dari kata shafw atau shafaa yang berarti bersih. Pendapat lain mengatakan, istilah tasawuf berasal dari kata shaff yang berarti barisan waktu shalat. Pendapat yang lain mengatakan, istilah tasawuf berasal dari kata shuf yang berarti wol (Umarie, 1966: 9).
Pendekatan definitif terhadap arti tasawuf juga beragam, yang secara garis besar dapat diklasifikasikan dalam dua kelompok. Kelompok pertama memberi aksentuasi moral, sedang kelompok kedua memberi aksentuasi mistik. Definisi Al-Junaid tentang tasawuf dalam hal ini mewakili kelompok pertama, sedang definisi Ibn-Khaldun mewakili kelompok kedua (Hamka, 1990: 4). Definisi tasawuf menurut Al-Junaid : Tasawuf ialah keluar dari budi perangai yang tercela dan masuk kepada budi perangai yang terpuji. Definisi tasawuf menurut Ibn-Khaldun: Tasawuf itu adalah semacam ilmu syar’iyah yang timbul kemudian dalam agama. Asalnya ialah bertekun ibadah dan memutuskan pertalian dengan segala selain Allah, hanya menghadap kepada Allah semata. Menolak hiasan-hiasan dunia, serta membenci perkara-perkara yang selalu memperdaya orang banyak, kelezatan harta-benda, dan kemegahan. Dan menyendiri menuju jalan Tuhan dalam khalwat dan ibadah”.
Tasawuf mempunyai karakter khas yang membedakannya dari mistisisme lain. Pertama, apabila kedua definisi tentang tasawuf di atas diperhatikan dan dipahami secara utuh, maka akan tampak selain berorientasi spiritual, tasawuf juga berorientasi moral (Lidinillah, 1995: 27).
Kedua, sumber tasawuf adalah ajaran-ajaran Islam yang terdapat dalam ALQur’an dan Al-Hadits, dan juga kehidupan para sahabat Rasulullah Muhammad SAW (Hamka, 1993: 37). Seorang sufi pertama kali akan mencari petunjuk dan referensi bagi pembenaran tindakannya dalam Al-Qur’an sebagai acuan utama. Dia juga akan mengacu kepada Hadis Rasulullah Muhammad SAW sebagai sumber keterangan penjelas. Referensi selanjutnya bagi aktivitas tasawufnya adalah pengetahuan dan tindakan para pengikut setia Rasulullah Muhammad SAW. Pengalaman spiritual yang diperolehnya sebagai penunjang semuanya itu (Arberry, 1985: 10). Esensi Islam dengan berbagai aspek ajarannya adalah tauhid. Bila sumber tasawuf adalah ajaran Islam, maka sendi pokok tasawuf adalah tauhid, sehingga tasawuf merupakan mistisisme khas Islam yang sepenuhnya monoteistik, bukan panteistik seperti mistisisme lain (Lidinillah, 1995: 27).
Ketiga, beberapa faham mistisisme berpendirian bahwa mistik adalah jalan individual. Kesempurnaan spiritual mistisisme hanya dapat dicapai dengan meninggalkan kehidupan sosial. Kehidupan social menghalangi manusia mencapai kesempurnaan spiritual individu. Sendi pokok tasawuf adalah tauhid. Penghayatan yang intens terhadap tauhid akan mengantarkan kepada pemahaman dan keyakinan bahwa sebenarnya fitrah manusia itu hidup bermasyarakat. Kalimat tauhid La Ilaaha illallah dalam dimensi rububiyah dapat diungkapkan dalam kalimat La khalika illallah yang berarti tidak ada pencipta kecuali Allah (Ilyas, 1989: 34). Implikasi keyakinan tidak adanya pencipta kecuali Allah adalah keyakinan bahwa seluruh umat manusia berasal dari satu pencipta dan karenanya manusia itu sederajat. Hikmah diciptakannya manusia itu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku adalah untuk saling mengenal dan mendekatkan diri satu dengan yang lain. (Q.S. 49:13). Inilah pengakuan Islam terhadap sosialitas manusia. Tasawuf dengan demikian juga berorientasi sosial (Lidinillah, 1995: 27).
Tasawuf mengalami pasang-surut sejalan dengan sejarah perkembangan kehidupan umat Islam. Tasawuf pada mulanya, abad pertama dan kedua hijriyah, lebih merupakan reaksi terhadap kondisi moral dan sosial yang menyimpang. Tasawuf lebih bersifat akhlaki. Pada abad ketiga dan keempat hijriyah, ketika terjadi pembenturan antara keyakinan Islam dengan keyakinan di luar Islam, tasawuf menjadi sarana untuk mencapai kepuasan spiritual yang ditengarai dengan keberhasilan manusia menyatu dengan Tuhan. Tasawuf lebih bersifat metafisik. Pada abad kelima hijriyah dan seterusnya, muncul kesadaran bahwa tasawuf mesti dikembalikan kepada ruhnya yang semula, yakni ruh Islam yang menjunjung tinggi nilai amal di samping kehidupan spiritual, menekankan kehidupan sosial di samping kehidupan individual (Asmaran, 1994: 249).

Eksistensi Manusia dalam Islam
Motif diciptakannya manusia, berdasarkan Al-Qur’an sebagai sumber utama ajaran Islam dan sebagai pilar utama tasawuf, adalah untuk menjadi wakil Tuhan di bumi (khalifatullah fil ardhi), hal ini dijelaskan dalam surat Al-Baqarah ayat 30. Kedudukan sebagai wakil Tuhan di bumi merupakan predikat yang luar biasa dan menempatkan manusia pada posisi yang lebih tinggi dari makhluk lain. Wakil Tuhan di bumi adalah subjek yang mampu membaca dan menafsirkan kehendak dan aturan-aturan Tuhan untuk kemudian dijelmakan menjadi perilaku konkrit dalam rangka menjaga kemaslahatan bumi (Lidinillah, 2000: 106).
Tidak semua manusia mampu menjadi wakil Tuhan. Untuk menjadi wakil Tuhan yang sesungguhnya dibutuhkan syarat-syarat tertentu. Iqbal (1953) menyebutkan, untuk menjadi wakil Tuhan seseorang harus “taat” dengan aturan-aturan Tuhan dan harus mampu mengendalikan diri, dengan dua kondisi itu kekhalifahan Tuhan dapat dijalankan, dan eksistensi manusia sebagai wakil Tuhan di bumi diteguhkan.
Hakikat manusia sebagai eksisten berdasarkan Al-qur’an surat Al- Mukminuun ayat 115 adalah ciptaan yang mempunyai fungsi dan bertanggung jawab atas fungsinya itu. Manusia itu ciptaan Tuhan sebagaimana makhluk lainnya. Kelebihan manusia dibandingkan dengan makhluk yang lain adalah terletak pada fungsi, yakni kemampuan melaksanakan dan mempertanggungjawabkan fungsinya. Fungsi utama manusia sebagai eksisten secara eksplisit dijelaskan dalam surat Adz-Dzariyat ayat 56, yakni untuk mengabdi kepada Tuhan. Segala aktivitas kemanusiaan mesti dimaknai sebagai suatu pengabdian. Kesadaran diri sebagai khalifah dan fungsi pengabdian sebenarnya identik. Pengabdian merupakan jalan untuk meneguhkan eksistensi manusia sebagai wakil Tuhan di bumi. Kesadaran diri sebagai khalifah merupakan motif pengabdian yang  total.

Relasi Manusia-Tuhan sebagai Parameter Eksistensi Manusia
Tasawuf, sebagai mistisisme yang berpangkal pada ajaran Islam, dalam segala bentuk dan coraknya mempunyai kesamaan dalam hal orientasi. Manusia, dalam tasawuf, diakui mempunyai kedudukan yang istimewa di hadapan Tuhan, yakni sebagai khalifahNya. Menghadapkan manusia dengan Tuhan sebagai dua subjek berbeda dalam perbincangan tasawuf adalah relevan. Tema pokok tasawuf biasanya berkisar pada kemungkinan manusia “mendekati” Tuhan. Esensi Islam adalah tauhid, yakni keyakinan akan keesaan Tuhan dalam segala dimensinya. Begitu pentingnya tauhid, sampai-sampai tidak ada toleransi bagi pelanggaran terhadapnya. Untuk memantapkan tauhid, Al-Qur’an dalam berbagai bagiannya mengajarkan transendensi Tuhan, meskipun dalam bagian yang lain mengajarkan imanensi Tuhan. Al-Qur’an mengajarkan bahwa Tuhan berbeda secara esensial dan bahkan mengatasi alam semesta; tetapi Tuhan juga menampakkan tanda-tanda diriNya dalam alam semesta (Asmaran, 1994: 56).
Ketegangan antara transendensi dan imanensi Tuhan mempunyai makna tersendiri bagi para sufi. Bagi mereka, benar bahwa Tuhan secara esensial berbeda dan bahkan mengatasi alam termasuk manusia di dalamnya; tetapi bukan berarti Tuhan tidak dapat didekati oleh manusia. Tanda-tanda Tuhan yang nampak pada alam semesta mengindikasikan bahwa Tuhan mengijinkan dirinya “didekati” oleh  manusia. Bagi para sufi, Tuhan dapat didekati oleh manusia secara ruhaniah. Tasawuf adalah suatu cara mengabdi pada Tuhan dalam kondisi kesadaran penuh bahwa Tuhan dekat dengan manusia. Tujuan tasawuf adalah memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga seseorang akan betul-betul mencapai kesadaran bahwa dirinya berada di hadapan Tuhan sebagai khalifahNya.
Berdasarkan pemahaman tentang relasi Tuhan-manusia di atas, keteguhan manusia sebagai eksisten bagi para sufi didasarkan pada hal-hal berikut. Pertama, kemampuan manusia mencapai hubungan langsung secara ruhaniah dengan Tuhan. Kedua, kemampuan manusia menyadari bahwa dirinya di hadapan Tuhan adalah khalifahNya. Ketiga, kemampuan manusia mengaktualisasikan hubungan langsung dengan Tuhan dan kesadaran diri sebagai khalifahNya dalam perilaku konkrit, yakni menjaga kemaslahatan dunia.

Prosedur Peneguhan Diri
Para sufi dari berbagai corak tasawuf memiliki pandangan yang relatif sama mengenai orientasi tasawuf, yakni mencapai hubungan langsung, sadar, dan sedekat mungkin dengan Tuhan. Perbedaan yang muncul di antara mereka adalah dalam hal prosedur untuk pencapaiannya. Tasawuf akhlaki lebih menekankan pembinaan mental melalui pengendalian nafsu dalam upaya mendekatkan diri dengan Tuhan. Manusia cenderung mengikuti nafsu. Kondisi semacam itu dapat merusak mental, dan menghalangi orang untuk dekat dengan Tuhan. Nafsu sebagai kelengkapan diri manusia memang tidak seharusnya dimatikan, tetapi tidak selayaknya apabila selalu diperturutkan. Prosedur mendekatkan diri pada tasawuf akhlaki meliputi rangkaian tiga fase yang berturutan. Langkah pertama adalah takhalli, yakni membersihkan diri dari sifat-sifat dan hal-hal tercela, melepaskan diri dari ketergantungan duniawi. Langkah kedua adalah tahalli, yakni mengisi diri dengan sifat dan hal-hal terpuji. Langkah ketiga adalah tajalli, yakni terungkapnya nur Ilahi bagi hati (Asmaran, 1994: 240).
Tasawuf amali lebih menekankan pembinaan moral dalam upaya mendekatkan diri kepada Tuhan. Untuk mencapai hubungan yang dekat dengan Tuhan, seseorang harus mentaati dan melaksanakan syariat atau ketentuan-ketentuan agama. Ketaatan pada ketentuan agama harus diikuti dengan amalan-amalan lahir maupun batin yang disebut tariqah. Dalam amalan-amalan lahir batin itu orang akan mengalami tahap demi tahap perkembangan ruhani. Ketaatan pada syari’ah dan amalan-amalan lahir-batin akan mengantarkan seseorang pada kebenaran hakiki (haqiqah) sebagai inti syariat dan akhir tariqah. Kemampuan orang mengetahui haqiqah akan mengantarkan pada ma’rifah, yakni mengetahui dan merasakan kedekatan dengan Tuhan melalui qalb. Pengalaman ini begitu jelas, sehingga jiwanya merasa satu dengan yang diketahuinya itu.
Tasawuf falsafi memadukan visi mistis dengan visi rasional. Dalam tasawuf falsafi, maqam tertinggi yang dapat dicapai manusia bukan hanya sampai pada ma’rifah; tetapi manusia bisa mencapai maqam yang lebih tinggi lagi yakni persatuan dengan Tuhan. Masalah persatuan manusia-Tuhan adalah masalah metafisik, bukan semata masalah mistis saja. Kondisi menyatu dengan Tuhan itu tiap sufi menyebutnya dengan istilah berbeda.
Abu Yazid Al-Bustami menyebutnya Ittihad yang berarti kesatuan, yakni kesatuan Tuhan-manusia. Al-Hallaj menyebutnya hulul, yang berarti menjelma, yakni Tuhan menjelma dalam manusia dan manusia menjelma dalam Tuhan. Ibn ‘Arabi menyebutnya wahdah-al wujud, yakni kesatuan wujud Tuhan dan manusia, dua bentuk dalam satu hakikat,Tuhan adalah manusia dan manusia adalah Tuhan. Suhrawardi menyebut dengan isyraq, yang berarti iluminasi atau pancaran, yakni Tuhan memancar dalam manusia (Hamka, 1994: 93-116) .
Konsep-konsep tentang kemungkinan manusia “bersatu” dengan Tuhan tersebut di atas menjadi pokok perbincangan yang hangat dalam tasawuf, selalu terdapat pendapat pro-kontra mengenai persoalan tersebut.

Kecenderungan Sosial sebagai Prosedur Tasawuf
Pada beberapa sufi, upaya pembangunan mental-spiritual dalam rangka mendekatkan diri dan bahkan kalau mungkin “bersatu” dengan Tuhan dilakukan dengan cara-cara yang boleh dikatakan anti sosial. Mereka menempuh jalan sufi dengan cara uzlah (menyendiri) dari kehidupan sosial. Mereka bersemedi pada suatu tempat tertentu, sehingga ruhani mereka tidak tercemar oleh hiruk-pikuk persoalan duniawi yang dapat mengotorkan hati. Gejala ini nampak pada sufi abad I dan II Hijriyah, sebagian sufi abad III dan IV Hijriyah (Asmaran, 1994, 249). Pada abad I dan II Hijriyah para sufi menempuh jalah zuhd (menjauhi hidup duniawi) untuk mencapai kebersihan ruhani. Sementara pada abad III dan IV Hijriyah, berkembang dua kelompok sufi. Pertama, kelompok yang berfaham moderat, yang ajaran mereka selalu merujuk pada Al-Qur’an dan hadits. Mereka sangat menekankan pentingnya moralitas. Kedua, kelompok yang menekankan faham fana (hilang dalam Tuhan). Kelompok kedua inilah yang mempunyai kecenderungan anti sosial.
Beberapa literatur mengilustrasikan, anti sosial dalam tasawuf nyata-nyata telah memposisikan peradaban Islam berada di belakang peradaban Barat. Akibatnya, muncul kesadaran sosial baru dalam tasawuf. Hal tersebut Nampak pada perkembangan tasawuf abad V hijriyah dan seterusnya, dengan munculnya tasawuf Suni, tasawuf yang menyandarkan diri pada Al-Qur’an dan Hadits. Islam mengajarkan, Allah telah mengangkat manusia sebagai khalifahNya, memberikan hak istimewa, menentukan kewajiban, dan tanggungjawab. Tubuh adalah fasilitas bagi ruh untuk melaksanakan semua ketentuan itu, tubuh bukanlah penjara bagi ruh. Dunia bukan hukuman bagi manusia, tetapi lapangan bagi pelaksanaan ketentuan kewajiban. Segala sesuatu di bumi ditetapkan untuk pembebasan jiwa manusia. Bakat dan dorongan hati manusia telah melahirkan peradaban, budaya, dan sistem sosial (Maududi, 1983, 89).
Masyarakat, dengan demikian, justru menyediakan fasilitas dan merupakan ajang pembangunan ruhani. Tempat yang sebenarnya bagi pertumbuhan dan perkembangan ruhaniah terletak di tengah-tengah aktivitas kehidupan sosial,  bukan di tempat-tempat sunyi pertapaan. Spiritualitas dan sosialitas harus berjalan bersama dalam Islam, bahkan semua aspek kemanusiaan merupakan bagian yang integral (Lidinillah, 1995, 20). Aksentuasi sosial, selain aksentuasi moral-spiritual merupakan trend baru tasawuf abad V hijriyah hingga sekarang. Kenyataan tersebut semakin mempopulerkan tasawuf sebagai jalan membangun kemanusiaan dalam segala aspeknya. Orang semakin menaruh harapan terhadap kemungkinan tasawuf sebagai alternatif peneguhan kemanusiaan, peneguhan eksistensi manusia.

Kesimpulan
1.    Eksistensi manusia dalam perspektif tasawuf dimaknai dalam dua hal. Pertama, eksistensi manusia dimaknai sebagai keberadaan manusia berhadapan dengan Tuhan. Dalam konteks ini, manusia sebagai eksisten adalah wakil Tuhan di bumi. Subjek yang mengemban amanah menjaga kemaslahatan bumi sesuai kehendak Tuhan. Kedua, eksistensi manusia dimaknai sebagai cara berada manusia yang bertolak dari kesadaran diri sebagai wakil Tuhanmu di bumi.
2.    Untuk memahami kehendak Tuhan manusia mesti berusaha mendekatkan diri dengan Tuhan melalui pengabdian total.
3.    Kedekatan diri manusia dengan Tuhan adalah orientasi setiap aliran tasawuf, bahkan tasawuf falsafi memahami dan memaknai kedekatan hubungan Tuhan manusia lebih jauh lagi. Semakin dekat diri manusia dengan Tuhan makin sempurna dirinya sebagai khalifah Tuhan, makin teguh eksistensinya.
4.    Perbedaan prosedur dalam upaya mencapai kedekatan dengan Tuhan bukanlah perbedaan yang prinsipiil. Perbedaan itu justru menunjukkan adanya peluang untuk saling melengkapi.
5.    Aksentuasi sosial, di samping aksentuasi moral-spiritual memposisikan prosedur mistis sebagi alternatif bagi manusia untuk mengaktualisasikan potensi kemanusiaannya dan meneguhkan diri sebagai eksisten
6.    Persoalan metafisik dalam tasawuf falsafi belum merupakan perbincangan final.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More